Senin 28 May 2018 00:03 WIB

Kontroversi yang Tersisa di UU Terorisme

Bagaimana dengan orang yang sudah disadap setahun tapi tidak terbukti?

Bayu Hermawan
Foto: dok. Pribadi
Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Bayu Hermawan*

Rentetan aksi teror yang melanda berbagai wilayah di Indonesia, seolah menyadarkan semua pihak bahwa sel-sel kelompok teroris masih menjalar di tanah air. Seluruh elit, tak peduli berasal dari koalisi pemerintah atau diluar pemerintah bersatu bukan hanya menyuarakan perlawanan terhadap teroris, namun yang terpenting menyelesaikan revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme.

Sebelum rentetan teror yang menguncang Indonesia pada awal bulan Mei, memang seolah-olah revisi UU tentang tindak pidana terorisme terlunta-lunta. Diajukan sejak Februaroi 2016, revisi berjalan lambat meski ancaman kelompok teroris tidak pernah mengendur. Pembahasan antara DPR dan pemerintah berlangsung alot dan memakan waktu lama. Lalu bagaimana undang-undang tersebut setelah melalui jalan panjang revisi?

Dari sisi definisi terorisme, meski telah melalui perdebatan alot,  saya menilai masih ada celah kekurangan. Yakni dalam kata "dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan". Mengapa?, sebab penambahan motif justru menambahkan unsur delik yang harus dibuktikan oleh petugas kemanan sebelum menyatakan bahwa sesuatu kasus adalah tindak kejahatan terorisme.  Selain itu, adanya penambahan dengan motif ideologi dan politik juga rawan akan disalahgunakan.

Sementara dari sisi pasal-pasal di revisi UU tentang tindak pidana terorisme, ada pasal yang sangat bagus namun ada juga yang rawan untuk diselewengkan. Dalam revisi, melalui Pasal 12, penegak hukum bisa langsung menindak kelompok-kelompok radikal yang selama ini sulit untuk diseret ke pengadilan, seperti Jamaah Ansharut Daulah dan Jemaah Islamiyah. Seperti diketahui, anggota-anggota kelompok JAD selama ini sering berada di balik aksi teror, salah satunya seperti yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu.

Pasal penting selanjutnya dari revisi UU tentang tindak pidana terorisme adalah terkait pelibatan anak. Seperti diketahui, serangan teror di wilayah Surabaya menampilkan fakta adanya anak-anak yang dilibatkan para pelaku untuk melancarkan aksi teror mereka. Pola baru serangan teroris ini bukan hanya mengejutkan, namun juga mengiris hati. Bagaimana mungkin orang tua tega membawa anak-anaknya untuk melakukan bom bunuh diri. Dalam revisi UU tentang tindak terorisme, pasal 16 A, maka pelaku teror yang melibatkan anak-anak akan diperberat hukumannya.

Sedangkan untuk pasal yang 'mengkhawatirkan' adalah terkait Pasal 31 dan 31A tentang penyadapan. Mengapa? sebab dengan pasal ini, petugas bisa melakukan penyadapan terhadap orang yang dicurigai terkait kelompok terorisme tanpa harus terlebih dahulu meminta izin pengadilan terlebih dahulu. Selain itu, waktu izin penyadapan juga diperpanjang selama satu tahun.

Tanpa bermaksud tidak mendukung pemberantasan terorisme, saya menilai pasal ini rawan menimbulkan gugatan karena bisa berpotensi melanggar HAM. Sebab, selama satu tahun, seseorang bisa disadap termasuk petugas bisa menyita dan membuka paksa surat dan kiriman lain milik orang yang dicurigai teroris. Lalu bagaimana jika sudah disadap selama satu tahun ternyata orang tersebut tidak terbukti anggota kelompok teroris?. DPR, yang dalam revisi UU tersebut menjadi pihak yang diberi kewenangan untuk mengawasi pemberantasan terorisme, tentu harus bekerja keras.

Pasal terakhir yang tentu menarik perhatian adalah pelibatan tentara nasional indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme. Wacana pelibatan TNI memang sudah lama muncul, bahkan sebenarnya TNI sudah pernah ikut turun tangan dalam pemberantasan teroris, melalui operasi tinombala untuk memburu kelompok teroris pimpinan santoso di Poso.

Wacana pelibatan TNI kembali menguat pascarentetan teror di Surabaya, Sidorarjo dan Riau. Presiden pun mengatakan akan menghidupkan Komando Operasi Khusus Gabungan (koopssusgab). Munculnya wacana ini menimbulkan kekhawatiran di sebagian kalangan, khusus pengiat HAM, sebab dikhawatirkan pelibatan TNI menjadi pintu masuk militerisme kembali ke urusan sipil.

Selain itu, TNI juga dinilai cendereung bertindak eksesif dan represif, sementaran pemberantasan terorisme juga perlu mengendepankan presuasif dan deradikalisme. Saat ini, publik tengah menunggu terbitnya peraturan presiden (perpres) terkait pelibatan TNI. Semoga perpres yang diterbitkan nantinya bisa menghilangkan ke khawatiran publik.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement