Ahad 27 May 2018 00:02 WIB

Mempersempit Ruang Gerak Mantan Koruptor

Harusnya mantan koruptor malu untuk maju menjadi penyelenggara negara.

M. Hafil
Foto: Republika/Daan Yahya
M. Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh: Muhammad Hafil *

 

Korupsi harus tetap dimasukkan ke dalam kategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Ini karena korupsi sifatnya transnasional. Banyak koruptor Indonesia yang mengirimkan uang hasil korupsinya ke luar negeri.

 

Selain itu, pembuktian kasus korupsi juga membutuhkan upaya yang sangat keras. Sebanyak 50 persen kasus korupsi adalah penyuapan yang tidak mungkin menggunakan kuitansi.

Yang terakhir, korupsi menimbulkan dampak yang sangat luar biasa. Selain merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah, juga berdampak kepada rakyat yang tidak merasakan dampak pembangunan. Ini karena uang pajak yang dibayar rakyat dicuri oleh para koruptor.

Para pelakunya, adalah penyelenggara negara selaku pihak yang membuat kebijakan, aparat penegak hukum, hingga sektor swasta.

 Untuk penyelenggara negara, mereka terdiri dari pemerintah (eksekutif) dan juga anggota dewan (legislatif). Makanya, hukuman untuk mereka yang terbukti melakukan korupsi di pengadilan dan berkekuatan hukum tetap harus luar biasa juga.

 Sejauh ini, hukuman terberat bagi koruptor adalah hukuman seumur hidup. Meskipun, di dalam UU Tipikor diatur hukuman mati bagi koruptor yang mengkorupsi uang bantuan bencana alam.

 Tapi, hukuman mati masih dipandang sebagai hukuman yang menentang Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, sejauh UU Tipikor diberlakukan, belum ada koruptor yang dihukum mati. Beberapa memang sudah divonis hukuman seumur hidup seperti mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.

 Namun, banyak juga hakim Pengadilan Tipikor yang menjatuhkan hukuman mencabut hak politik dipilih dan memilih bagi koruptor. Di antaranya yaitu mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan mantan presiden PKS Luthfi Hasan Isshaq. Keduanya menjadi anggota DPR saat melakukan korupsi.

 Bagi koruptor yang tidak mendapatkan hukuman pencabutan hak politik dan sudah mengabiskan masa hukumannya, masih bisa menggunakan hak politiknya. Di antaranya, mantan gubernur Aceh Abdullah Puteh yang kembali mencalonkan menjadi gubernur Aceh pada pilkada 2016 lalu, Nurdin Halid yang saat ini menjadi calon gubernur Sulawesi Selatan, dan Wa Ode Nurhayati yang kemarin sempat menjadi bakal calon gubernur Sulawesi Tenggara namun batal menjadi calon gubernur.

 Artinya, mereka masih bisa kembali menggunakan hak politiknya untuk dipilih kembali menjadi penyelenggara negara. jika mereka gagal menjadi kepala daerah, mereka bisa kembali mencalonkan diri untuk menjadi anggota legislatif di tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat pada pemilu 2019.

 Sejauh ini, aturan hukum masih memperbolehkan mereka untuk mencalonkan diri kembali menjadi calon legislatif (caleg). Pasal 240 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang membolehkan seorang mantan narapidana menjadi caleg selama mengumumkan statusnya sebagai mantan narapidana.

 Namun, perlu diingat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Artinya, seharusnya ada rasa malu bagi mantan narapidana korupsi itu untuk menjadi orang yang pernah merugikan keuangan negara dan masyarakat untuk kembali menjadi penyelenggara negara. Artinya, hukuman dari pengadilan itu tidak menjadi efek jera bagi mereka.

 Karena itulah, belakangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan agar mantan koruptor tak boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Usulan ini dituangkan dalam rancangan Peraturan KPU (PKPU) Pasal 7 ayat 1 huruf (j) tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota.  Di mana, pasal itu berbunyi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.

 Ini merupakan terobosan KPU untuk mencegah korupsi yang dihasilkan dari pemilu. Yaitu, untuk menjaga kualitas pemilu, meyakinkan publik terhadap pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemlu, dan pemilih menghasilkan penyelenggara negara yang bebas dari KKN.

Apalagi, mengingat reformasi sudah berlangsung selama 20 tahun. Di mana, pemberantasan KKN adalah salah satu amanat reformasi. Namun, selama 20 tahun itu korupsi belum hilang, dan salah satu pelakunya yang terbanyak berasal dari kalangan anggota legislatif.

 Di kalangan para pemangku kepentingan terkait pemilu, KPU sendirian dalam menciptakan aturan ini. Karena, DPR, pemerintah, dan Bawaslu menolak aturan ini. Namun, KPU terus tancap gas meskipun mereka menolak.

 Tetapi KPU mendapatkan banyak dukungan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga penegak hukum yang mendapat amanat untuk memberantas korupsi di negeri ini. Selain itu, para pegiat antikorupsi juga sangat mendukung rancangan PKPU itu, seperti ICW dan Perludem.

 Yakinlah KPU, tidak hanya mereka yang mendukung usulan ini. Rakyat Indonesia juga sangat merindukan pemilu yang bisa menghasilkan orang-orang terpilih dan memiliki rekam jejak baik jauh dari korupsi. Karena, jika para mantan koruptor itu menjadi caleg dan terpilih, maka ini berarti lampu kuning bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

*) Penulis adalah redakur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement