REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yang baru disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Jumat (25/5), menambah aturan soal kejahatan terorisme yang melibatkan anak-anak. Aturan tersebut tertuang dalam pasal 16A, yakni memperberat hukuman bagi pelaku teror yang melibatkan anak dengan menambah sepertiga pidana hukuman pokok.
Anggota Pansus Revisi UU Terorisme dari Fraksi Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno, mengatakan, pasal tersebut telah muncul sejak awal pembahasan revisi UU Antiterorisme. Menurut dia, keberadaan pasal itu bukan didasarkan peristiwa terorisme di Surabaya yang pelakunya melibatkan anak-anak.
"Enggak, pasal itu muncul sejak lama, sejak awal pembahasan di pansus. Karena kita berkaca kepada aksi-aksi terorisme di dunia internasional yang banyak melibatkan anak-anak. Sehingga, kita masukkan pasal itu," ujar Dave saat dihubungi wartawan, Jumat (25/5).
Namun, akhirnya, kata Dave, terbukti pada kasus peledakan bom di Surabaya pekan kedua Mei lalu yang pelakunya melibatkan anak-anak. "Awalnya kita pikir mungkin ini (aksi teror melibatkan anak-anak) bisa terjadi di Indonesia, dan nyatanya terjadi juga kan. Itu semangat pansus dari munculnya pasal 16A itu," kata Dave.
Adapun pasal 16A, berbunyi, "Setiap orang yang melakukan Tindakan Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)."
In Picture: Sidang Paripurna DPR Sahkan Revisi UU Terorisme.
Sebelumnya, pelaku bom di tiga gereja di Surabaya, Dita Oepeoseno dan istri, mengajak serta ketiga anaknya yang masih di bawah umur untuk melakukan bom bunuh diri. Begitu pun bom di Mapolrestabes Surabaya oleh satu keluarga juga melibatkan anak-anak.
Terdakwa aktor intelektual sejumlah kasus teror, Aman Abdurrahman, menyebut, teror bom gereja di Surabaya tidak mungkin muncul dari orang yang mengerti ajaran Islam. Ia justru memandang keji aksi pengeboman gereja dan Mapolrestabes Surabaya.
"Ayah mengorbankan anak-anaknya, ibu bersama anaknya melakukan bunuh diri, dua kejadian itu, orang yang menyatakan itu jihad adalah orang yang sakit jiwanya," ujar Aman saat membacakan pleidoi atas tuntutan hukuman mati, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (25/5).