Rabu 23 May 2018 15:18 WIB

Jangan Asingkan Anak Terduga Pelaku Terorisme

Anak-anak tidak boleh mendapat stigma perbuatan orang tuanya.

Rep: Mabruroh/ Red: Muhammad Hafil
Anak kecil yang mengalami kekerasan kerap trauma/ilustrasi.
Foto: Photo by Kat Jayne from Pexels
Anak kecil yang mengalami kekerasan kerap trauma/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ada beberapa anak-anak terduga pelaku terorisme yang selamat. Mereka yang diduga diajak oleh orang tuanya melaksanakan aksi teror, tidak ikut tewas seperti orang tuanya.

Anak-anak itu masih ada yang berusia dini, di bawah 10 tahun. Salah seorangnya tengah mendapat perawatan medis di rumah sakit. Negara dan masyarakat harus melindungi anak-anak itu agar tidak dikucilkan dan tidak terkena pemikiran radikal.

Ketua Bidang pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)  Reza Indragiri Amriel mencontohkan,  ada anak terduga teroris di Surabaya berusia delapan tahun yang sekarang harus mengalami trauma dan membutuhkan perlindungan khusus. "Dia  bukan satu-satunya anak yang membutuhkan perlindungan khusus itu. Ada sekian banyak anak lagi yang ayah mereka tewas dengan sebutan sebagai terduga teroris," ungkap Reza, Rabu (23/5).

Reza menerangkan, anak dan istri yang ditinggalkan oleh pelaku teror maupun terduga teroris kondisinya sangat memprihatinkan. Warga kata dia, biasanya akan menolak kehadiran mereka dan dicap sebagai keluarga teroris.

"Mereka kerap juga menerima sanksi sosial yang berat. Para yatim dan janda itu diusir dari tempat tinggal mereka dan dialienasi sedemikian rupa sehingga kesulitan mempertahankan hidup," jelasnya.

Hal tersebut kata dia, terjadi kepada keluarga yang orangtuanya benar-benar teroris maupun yang hanya berstatus terduga teroris. Oleh karena itu Reza berharap agar mereka yang bersatus terduga dapat segera diberikan kepastian untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kepada keluarga terduga teroris tersebut.

"Sesungguhnya masyarakat membutuhkan kepastian apakah orang tua mereka benar-benar teroris ataukah selama-lamanya berstatus sebagai orang yang diduga teroris," ujar Reza.

Seperti yang dijelaskan dalam pasal 59 UU Perlindungan Anak, bahwa anak-anak tidak boleh menjadi sasaran stigma, termasuk stigma akibat perbuatan orang tua mereka. Menurutnya, kesalahan yang dilakukan orang tuanya jangan kemudian dilimpahkan penuh kepada anak-anak tersebut.

"Selalim apa pun orang tua (terpidana teroris), anak-anak yang mereka lahirkan tidak sepantasnya menerima getah akibat teror yang diduga mereka perbuat. Hak-hak atau kepentingan-kepentingan terbaik anak-anak para terduga teroris sepatutnya tetap terpenuhi," ungkap dia.

Oleh karena itu, sambung Reza segala bentuk pengusiran dan pengasingan terhadap anak-anak terduga teroris merupakan pelanggaran serius terhadap UU Perlindungan Anak. Terlebih kata dia, ketika negara bersikukuh bahwa anak-anak terduga teroris disamakan dengan anak-anak teroris.

Reza mengaku khawatir jika anak-anak terduga teroris maupun terpidana teroris yang diasingkan di masyarakat justru membuat mereka kemudian memilih untuk menduplikasi perbuatan orangtuanya. Oleh karena itu tambahnya, untuk mencegah hal tersebut terjadi, negara harus mampu memberikan perlindungan dan pemantauan.

"Negara harus hadir. LPAI mendorong juga untuk dapat mengkoordinasi pendataan, pemantauan, dan pemberian perlindungan khusus kepada anak-anak teroris dan terduga teroris yang telah meninggal dunia," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement