Rabu 23 May 2018 15:17 WIB

DPR Tegaskan Definisi Terorisme tak Boleh Multitafsir

Definisme terorisme menjadi bahasan terakhir revisi UU Terorisme.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
Rapat Panja Tim Perumus Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Rapat Panja Tim Perumus Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada hari ini, Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kembali menggelar rapat dengan pemerintah. Dalam rapat ini, Pansus RUU Terorisme membahas mengenai definisi terorisme yang merupakan pembahasan terakhir.

Ketua Pansus RUU Terorisme, dari Fraksi Partai Gerindra, Muhammad Syafi'i tetap menginginkan, definisi terorisme ditambah frasa motif ideologi, politik dan keamanan negara. Syafi'i juga mengusulkan agar tetap menempatkan definisi ke dalam norma, bukan dalam penjelasan umum atau ketentuan umum seperti alternatif yang ditawarkan pemerintah.

Syafi'i beralasan, karena sudah sesuai dengan UU No 12 tahun 2011 tentang Tata Cara Perundangan-undangan. "Itu di dalam lampiran dua, angka 187 Undang-undang, adalah ketentuan umum definisi harus jelas tuntas dan tidak multitafsir dan tidak perlu diberi penjelasan," kata Syafi'i, Rabu (23/5).

Syafi'i juga mengharapkan, agar rapat yang dihadiri diwakili Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih, dapat bersepakat dengan usulan DPR RI. "Karena dengan penambahan frasa tersebut dapat membedakan antara tindak pidana umum dan terorisme. Untuk logika hukum nanti, insya Allah dapat disepakati," harap Syafi'i.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani menyatakan, frasa ideologi dan motif politik dalam definisi terorisme hanya alternatif dalam penyelidikan. Sehingga, frasa tersebut bukan satu-satunya unsur untuk menentukan apakah itu tindak pidana umum atau tindak pidana terorisme sebagai kejahatan luar biasa.

"Ini usulan PPP. Agar di satu sisi tidak membatasi dan tidak mempersulit, tapi juga menitipkan apa yang disampaikan masyarakat soal definisi ini agar terserap," ungkap Arsul.

Maka dengan demikian, Arsul meminta agar pemerintah tidak perlu khawatir adanya frasa itu akan mempersempit tugas aparat keamanan dalam penegakan hukum. Menurut dia, jika frasa itu dimasukkan asal rumusannya alternatif bisa politik, bisa ideologi, bisa juga gangguan keamanan. Bahkan bisa juga ditambahkan dengan motif gangguan keamanan.

Menurut Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, frasa ideologi dan politik ini tidak akan membatasi atau mempersempit ruang gerak penegak hukum atau Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Memang, lanjutnya, tidak semua aksi teror memiliki latar belakang motif atau ideologi politik tertentu.

"Hanya saja frasa ideologi dan politik tetap diperlukan, apalagi Pansus RUU Terorisme sudah menerima banyak masukan dari fraksi-fraksi maupun masyarakat," ujarnya.

Baca: Internal Pemerintah Beda Pendapat Soal Definisi Terorisme.

Sementara itu, Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa pemerintah tetap pada sikapnya agar frasa tersebut cukup diletakkan dalam bagian penjelasan umum. Artinya, pemerintah tidak menghendaki frasa itu dimasukkan dalam batang tubuh atau pasal di RUU Terorisme.

Enny melanjutkan, sebetulnya pihaknya tidak mencantumkan frasa tujuan ideologi dan politik. Sebab, Enny menilai bahwa inti dari teroris itu tujuan utamanya adalah menimbulkan rasa takut atau ancaman luas.

"Khawatir jika frasa itu dimasukkan ke pasal RUU bakal mengubah rumusan delik pasal 6 dan 7 di UU itu yang juga terdapat unsur-unsur terorisme. Kalau rumusan pasal 6 dan 7 tersebut diubah, pasti akan mengubah seluruh pasal," tutup Enny.

photo
Infografis Pasal-Pasal Krusial Revisi UU Terorisme

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement