REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah anggota Pansus Revisi Undang Undang Antiterorisme mempertanyakan kesatuan sikap unsur-unsur pemerintah terkait definisi terorisme motif politik, tujuan ideologi, dan ancaman keamanan negara. Itu disebabkan berbedanya sikap Tim Panja Pemerintah di Revisi UU Antiterorisme dengan sikap sejumlah pimpinan lembaga di Pemerintahan, seperti Kapolri, Panglima TNI, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
Tim Panja Pemerintah menginginkan motif politik, tujuan ideologi dan ancaman keamanan negara tidak dimasukkan dalam batang tubuh Undang-undang dan cukup dimasukkan dalam bagian penjelasan umum. Sementara surat pimpinan lembaga pemerintah setuju menyertakan frasa motif tersebut ke definisi terorisme dalam batang tubuh UU.
Anggota Pansus Revisi UU Antiterorisme dari Fraksi PAN Muslim Ayub mempertanyakan keberatan Tim Pemerintah jika frasa dimasukan dalam batang tubuh UU. Padahal, lembaga pimpinan lembaga penegak hukum justru menyetujuinya.
"Motif apa keberatan pemerintah memasukan frasa ini. Saya pertanyakan ini. Kalau tidak dimasukan di batang tubuh dan hanya penjelasan, cabut dong apa yang diserahkan petinggi negeri ini soal motif tadi," ujar Muslim di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5).
Muslim menegaskan masuknya frasa tersebut di dalam batang tubuh Undang undang Antiterorisme sebenarnya bertujuan untuk memberikan kekhususan pada UU tersebut. Sehingga, penegak hukum dapat membedakan mana tindak pidana kriminal biasa dan tindak pidana terorisme.
"Jujur saya dari PAN menilai ini wajib, frasa ini wajib dimasukan dalam UU ini. bahwasanya terorisme ini kejahatan serius yang terkait ideologi dan negara serta kedaulatan negara," kata Muslim.
Ketua Pansus Revisi UU Antiterorisme dari Fraksi Partai Gerindra Muhammad Syafii yang mengatakan sejak awal Panglima TNI, Kapolri, Menkopolhukan, Menhan sepakat jika frasa motif politik masuk bagian definisi terorisme. "Usulan rumusan pimpinan lembaga semua sepakati untuk menempatkan frasa motif-motif dalam definisi terorisme," kata Syafii.
Sebab menurut Syafii, frasa tersebut untuk membedakan tindak pidana kriminal biasa dan tindak pidana terorisme. Anggota Pansus dari Fraksi Partai Demokrat Darizal Basir juga menilai masuknya frasa motif ideologi untuk mencegah penegak hukum mudah memgkriminalsiasi seseorang. Sebab, jika frasa tersebut tidak dimasukkan, maka dikhawatirkan akan membuat seseorang mudah dicap sebagai teroris.
"Kita mau UU yang kita buat ini jelas dan tidak supresif. Kita nggak berharap UU ini dan definisi membuat penegak hukum sangat mudah mengkriminalsiasi orang sebagai terorisme, kita harus tegas membedakan mana kriminal biasa dan mana teroris," kata Darizal.
Darizal juga menilai frasa tersebut juga tidak membatasi proses penyidikan. "Kita tahu teroris tujuannya politik maka kami dari Demokrat menilai definisi harus lengkap. Kalau memasukkan frasa politik menyulitkan penyidikan, kalau memang nggak terbukti ya jangan dipaksakan. Ini yang kita nggak mau," kata anggota Komisi I DPR itu.
Anggota Pansus dari Fraksi Partai Golkar Bobby Adityo Rizaldi juga ingin memastikan sikap Tim Pemerintah juga merangkum suara unsur-unsur dari lembaga pemerintah.
"Sebelum itu kita mau pertanyaan surat Kapolri Panglima TNI, Menhan, Menkopolhukam, apakah sudah tahu usulan dari tim pemerintah ini. Kita nggak mau pemerintah nggak bulat. Saya mau tanyakan apakah perbedaan itu sudah terangkum dalam usulan ini," kata Bobby.
Hal ini kata Bobby, agar tidak terjadi pertentangan di internal pemerintahan terkait motif tersebut. "Kami nggak mau nanti ada pertentangan. Karena surat-surat yang disampaikan ke kami ini berbeda, nah apakah setelah surat ini ada pertemuan setelahnya, kami nggak mau mempertentangkan," kata Bobby.