Selasa 22 May 2018 19:01 WIB

Kapolri Minta Pengesahan RUU Antiterorisme Diprioritaskan

Jika sudah disahkan, UU Antiterorisme memungkinkan kepolisian melakukan pencegahan.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Ratna Puspita
Penanggulangan dan Pencegahan Terorisme. Kapolri Tito Karnavian, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Menkominfo Rudiantara, dan Menkumham Yasonna Laoly (dari kiri) mengikuti rapat terbatas terkait Terorisme di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/5).
Foto: Republika/ Wihdan
Penanggulangan dan Pencegahan Terorisme. Kapolri Tito Karnavian, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Menkominfo Rudiantara, dan Menkumham Yasonna Laoly (dari kiri) mengikuti rapat terbatas terkait Terorisme di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diprioritaskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan UU tersebut, kata dia, kepolisian dapat melakukan penanganan dan pencegahan terorisme dengan lebih komprehensif.

"Dari kepolisian tentu menginginkan revisi UU 15/2003 mudah-mudahan dapat cepat dilaksanakan sehingga penanganannya lebih komprehensif karena UU 15/2003 belum tergambar komprehensif," ujar Tito di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (22/5).

Ia mengatakan, dengan UU antiterorisme ini, penanganan dan pencegahan tindak pidana terorisme akan melibatkan banyak pihak. Namun, dia meyakinkan, pelaksanaannya tetap menghargai nilai-nilai demokrasi dan juga HAM.

Baca Juga: Yusril: Revisi UU Terorisme Harus Akui HAM dan Pancasila

Selama ini, ia menerangkan, kepolisian telah mengetahui jaringan teroris di Indonesia. Kendati demikian, kepolisian tak dapat melakukan penindakan selama para pelaku tak melawan  hukum.

Dia pun berpendapat aksi terorisme yang terjadi beberapa pekan lalu di Surabaya dan di berbagai daerah lainnya merupakan puncak gunung es. Ia menerangkan, akar permasalahan terorisme dapat disebabkan berbagai permasalahan, termasuk masalah ekonomi, ideologi, keadilan, ketidakpuasan.

"Ada prosesnya untuk menuju aksi terorsime, di Surabaya prosesnya cukup panjang," kata dia.

Pada Rabu (23/5) besok, rapat panitia kerja (panja) pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan mendiskusikan definisi terorisme. Poin tunggal yang dibahas terkait penempatan frasa definisi motif politik, ideologi, dan mengancam keamanan negara.

Baca Juga: Ini Poin Revisi UU Terorisme yang akan Dibahas DPR Besok

Tito pun mengakui adanya masalah definisi kata terorisme dalam pembahasan RUU Anti-terorisme ini. Menurut dia, Presiden Joko Widodo sudah memberikan arahan terkait pemberantasan terorisme.

Jokowi menginstruksikan agar dilakukan upaya yang lebih komprehensif untuk menangani masalah terorisme. Langkah menyeluruh ini menekankan pada pendekatan hard power dan soft power.

Dia menerangkan pendekatan hard power dilakukan lewat penegakan hukum yang melibatkan stakeholder terkait seperti Badan Intelejen Negara (BIN), TNI, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Tito menambahkan pendekatan soft power yang dilakukan terutama untuk mencegah penyebarluasan ideologi terorisme. Kepala BNPT Suhardi Alius mengatakan pendekatan soft power yang dilakukan seperti membersihkan lembaga pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi, ruang publik, dan mimbar umum dari ajaran terorisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement