Jumat 18 May 2018 02:30 WIB

Koalisi LSM: HAM Prasyarat Mutlak Tanggulangi Terorisme

Koalisi LSM mengingatkan perlawanan terharap terorisme harus dengan cara beradab.

Penangkapan anggota kelompok teroris (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana
Penangkapan anggota kelompok teroris (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi yang terdiri atas belahan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengingatkan bahwa hak asasi manusia adalah prasyarat mutlak dalam upaya penanggulangan terorisme di Tanah Air. Koalisi LSM mengecam rentetan serangan terorisme yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, namun perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan terorisme dan intoleransi harus dengan cara yang beradab, bermartabat dan menyeluruh.

Sejumlah LSM itu antara lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, Elsam, Imparsial, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), LBH APIK, ICJR, Setara Institute, Amnesty International Indonesia, AJAR, Walhi, Perludem, KPA, dan Solidaritas Perempuan.

Koalisi LSM menyatakan bahwa bila terorisme dan intoleransi dilawan dengan cara yang mendelegitimasi HAM serta menafikan perbedaan dan keragaman, dikhawatirkan justru akan semakin mereproduksi rantai kekerasan, melemahkan langkah-langkah kontra radikalisasi dan upaya-upaya deradikalisasi terhadap benih ekstremisme lainnya, serta semakin memperbesar polarisasi di tengah masyarakat.

Koalisi LSM memahami dilema dan tantangan yang dihadapi penegak hukum dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam memerangi terorisme, sehingga dinilai tetaplah penting untuk memastikan langkah-langkah yang menyeluruh dan bermartabat dalam menyikapi masalah ini, serta jangan mencari jawaban dan solusi reaktif yang mendelegitimasi HAM.

Apalagi, prinsip-prinsip HAM telah diadopsi dalam pasal-pasal UUD 1945, sehingga menyalahkan HAM dalam penanganan terorisme adalah pandangan yang reaktif, tidak proporsional, dan tidak memiliki justifikasi.

Dalam konteks inilah maka parameter HAM akan menguji apakah kita mampu memerangi terorisme dengan cara yang bermartabat dan akuntabel, atau hanya mampu menjadi bangsa yang bersikap "barbar" yang mengabaikan standar hukum dan HAM sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Baru.

LSM juga menekankan pentingnya perumusan yang lebih komprehensif dalam strategi dan pendekatan yang lebih preventif dan mitigatif dalam memerangi terorisme.

Berkenaan dengan tindakan preventif oleh pemerintah, penting dilakukan evaluasi dan audit menyeluruh terhadap kinerja aparat keamanan, penegak hukum, badan-badan intelijen negara dan juga instansi atau lembaga terkait lainnya, misalkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, Komnas Perempuan, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Selain itu, mekanisme akuntabilitas dalam penangangan kontra-terorisme juga harus menjadi prioritas bila upaya penindakan atau upaya paksa faktor keamanan dikedepankan. Upaya paksa dinilai tetap harus mengikuti dan mempertimbangkan standar-standar HAM, khususnya guna mengeliminasi risiko munculnya penyiksaan, salah tangkap, penahanan sewenang-wenang, dan pelanggaran HAM lainnya sehingga dalam penerapannya hukum berjalan dengan seimbang.

Terkait pemulihan atas korban tidak hanya sebatas pemulihan kepada korban dari aksi terorisme itu sendiri namun pendekatan dan pemulihan terhadap kelompok atau masyarakat terdampak, termasuk kelompok terduga pelaku maupun keluarganya yang selama ini belum dapat dipenuhi melalui kewenangan LPSK, BNPT, dan Kementerian Sosial.

Tindakan pemulihan ini tidak hanya akan dapat meminimalkan kebencian dan ujaran kebencian, namun juga dapat menjadi sebuah upaya deradikalisasi dan menaikkan kepercayaan kelompok masyarakat terhadap negara yang telah menjalankan penegakan hukum dan pemenuhan atas hak asasi manusia kepada masyarakatnya.

Terakhir, terorisme yang berakar dari radikalisme dilakukan secara terorganisasi serta memiliki pola yang sistematis dari tahap perekrutan, kaderisasi, hingga aksi. Artinya, strategi anti terorisme juga harus dilakukan dengan cara yang lebih menyeluruh dan mendasar, yang juga mencakup aspek sosial, pendidikan, dan budaya, dengan mengembalikan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika yang saling menghargai, tanpa kekerasan dan tanpa diskriminasi terhadap perempuan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement