Jumat 18 May 2018 02:15 WIB

Ali Fauzi Ibaratkan Terorisme dengan Komplikasi Penyakit

Pengibaratan komplikasi ini karena akar atau penyebab terorisme tidak tunggal.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Polisi berjaga saat berlangsung penggeledahan di rumah terduga teroris di kawasan Dukuh Pakis, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/5).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Polisi berjaga saat berlangsung penggeledahan di rumah terduga teroris di kawasan Dukuh Pakis, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Lingkar Perdamaian Ali Fauzi Manzi mengibaratkan terorisme sebagai komplikasi penyakit. Ia memgatakan pengibaratan komplikasi ini karena akar atau penyebab terorisme tidak tunggal.

Ali mengatakan lantaran akar masalah yang komoleks, penanganannya pun harus dilakukan berdasarkan berbagai aspek, perspektif, dan metodologi. "Cara penanganan tak bisa dilakukan dengan metode tunggal," ujar Ali dalam diskusi di Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Jakarta Pusat, Kamis (17/5).

Ali pun menerangkan kompleksitas ini dapat ditunjukkan dari panjangnya proses infiltrasi atau penanaman ideologi terorisme. Dia pun mengambil kasus keluarha Dita Oepriyanto yang meledakkan bom di tiga gereja pada Ahad (13/5) lalu.

Ali berpendapat apa yang Dita lalukan terhadap keluarganya tentu bukan buah sari sesuatu yang instan. Proses radikalisasi sudah dimulai sejak usia dini terhadap keluarga Dita.

Dia mengatakan radikalisasi sejak dini itu membutuhkan cara khusus untuk melakukan deradikalisasi. "Apa pun kalau sudah soal ideologi tentu akan sangat susah. Kecuali dengan trik-trik tertentu," tuturnya.

Untuk itu, mantan kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah Jawa Timur tersebut menyarankan agar ada 'dokter spesialis' untuk memberantas terorisme. 'Dokter spesialis' ini haruslah pihak yang memahami kompleksitas teroris seperti mantan pelaku atau anggota jaringan teroris.

Keterlibatan pihak-pihak yang pernah mengalami 'penyakit' terorisme itu juga untuk lebih mendorong kampanye pencegahan. "Saya Ali Fauzi bukan dokter spesialis, tetapi saya pernah mengalami penyakit itu sejak umur 18 tahun. Sekarang, bisa 'sembuh' dan menyembuhkan," jelas dia.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Penelitian Intoleransi dan Radikalisme LIPI Cahyo Pamungkas menjelaskan, terorisme berakar pada radikalisme. Radikal, lanjut dia, berakar pada sikap intoleran.

Karena itu, ia menilai, intoleransi dalam beragama akan menjadi lahan subur bagi radikalisme yang bermuara pada terorisme. "Maka kita tidak bisa menyepelekan intoleransi. Terutama dalam kehidupan beragama," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement