Jumat 18 May 2018 01:30 WIB

Keluarga, Kunci Utama Cegah Penyebaran Ideologi Terorisme

Deradikalisasi juga perlu dilakukan melalui media sosial.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Friska Yolanda
Perwakilan Gerakan Rakyat Nusantara Anti Terorisme saat  melakukan aksi  di halaman depan  DPR RI, Rabu (16/5).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Perwakilan Gerakan Rakyat Nusantara Anti Terorisme saat melakukan aksi di halaman depan DPR RI, Rabu (16/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Penelitian Intoleransi dan Radikalisme LIPI Cahyo Pamungkas menuturkan, strategi deradikalisasi keluarga bisa diimplementasikan melalui pendekatan psikologis dan sosial. Menurutnya, mencegah berkembangnya ideologi terorisme pada tingkat keluarga merupakan kunci utama untuk mencegah ideologi tersebut berkembang di masyarakat.

"Pendekatan positif bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan khusus kepada anak-anak pelaku teroris," ujar Cahyo di Jakarta, Kamis (17/5).

Selain itu, memberdayakan perempuan bagi keluarga yang ditinggalkan kepala keluarganya karena tersangkut masalah terorisme dan pemisahan tahanan teroris juga bisa dilakukan. Ia juga mengatakan, mencegah berkembangnya ideologi terorisme pada tingkat keluarga merupakan kunci utama untuk menyetop berkembang luasnya ideologi tersebut di masyarakat.

"Berkembangnya ideologi terorisme di masyarakat luas karena gerakan gagasan atau ide radikalisme seringkali terjadi melalui keluarga teroris," kata dia.

Karena itu, kalau penyelesaiannya hanya melalui pendekatan keamanan saja, maka mata rantai terorisme tak akan terputus. Mata rantai yang telah menyebar luas ke berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Cahyo menjelaskan, strategi deradikalisasi juga harus dilakukan melalui media sosial untuk melawan narasi-narasi kebencian dan kekerasan yang ada di sana. Menurutnya, gerakan terorisme dilakukan tidak hanya gerakan fisik, tetapi juga penyebaran ideologi kekerasan di media sosial.

"Meskipun upaya antisipasi dan counter terhadap narasi di media sosial telah dilakukan, tetapi masih dinilai kurang optimal," jelasnya.

Untuk memutus mata rantai gerakan terorisme juga tidak cukup hanya dengan mematahkan narasi kekerasan agama atau menciptakan narasi tandingan. Identifikasi dan analisis mendalam pada proses produksi narasi tersebut haruslah pula dilakukan.

"Akar utama terorisme adalah radikalisme dan akar radikalisme adalah intoleransi, baik di dunia maya dan di dunia nyata. Jadi, kita tidak dapat mengesampingkan fakta menguatnya intoleransi di Indonesia karena dikhawatirkan akan menjadi lahan subur gerakan terorisme," ujar Cahyo.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement