REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akan mendampingi anak-anak pelaku bom Surabaya, Jawa Timur (Jatim), yang masih hidup dengan menggandeng tenaga kesehatan, psikolog, hingga unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) kepolisian. KPAI menilai anak-anak ini membutuhkan rehabilitasi dengan berbagai pendekatan.
Komisioner KPAI Bidang Anak Berhadapan Hukum, Putu Elvina mengatakan KPAI bekerja sama dengan kepolisian daerah (Polda) Jatim mendampingi tiga anak di dalam rumah aman yang ditunjuk oleh Polda Jatim. "Dari awal kami sudah berkoordinasi dengan Kanit PPPA Jatim untuk penanganan tiga anak tersebut," ujarnya saat konferensi pers dalam rangka menyikapi modus baru kejahatan terorisme, di Jakarta, Selasa (15/5).
Tak hanya itu, kata dia, KPAI juga menggandeng psikolog di wilayah itu. Ia menceritakan, sejak awal kasus ini terjadi, para psikolog sudah turun menangani bocah-bocah ini karena untuk memulihkan mental dan jiwanya. "Pendampingan dari psikolog Surabaya juga sedang berjalan," ujarnya.
Putu mengungkapkan, berdasarkan keterangan dari Kanit PPA, kondisi anak-anak saat ini baik, bahkan sangat baik. Namun KPAI belum sampai mengetahui mendalam kondisi anak-anak ini. Pihaknya menunggu anak-anak ini benar-benar sampai siap secara mental baru kemudian melakukan assesmen mengapa mereka dilibatkan, bagaimana perasaan mereka, bagaimana keluarga mereka.
Ketua KPAI Susanto menambahkan, anak-anak ini membutuhkan rehabilitasi dengan berbagai pendekatan seperti agama, pendidikan, sosial. Disinggung mengenai berapa lama dibutuhkan rehabilitasi, Susanto tak bisa menjawab. Susanto hanya mengatakan dalam waktu dekat tin KPAI akan berangkat ke Jatim untuk melihat langsung kondisi anak-anak tersebut.
(Baca: JK tak Habis Pikir Anak-Anak Dilibatkan di Aksi Bom)
Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa, mengatakan bom bunuh diri di beberapa titik di Surabaya merupakan aksi yang paling menyedihkan di antara aksi teror sebelumnya di Indonesia. Salah satunya karena anak-anak dilibatkan sebagai pelaku pengeboman.
"Ini sangat menyedihkan sekali. Dari semua, saya kira, bom bunuh diri kali ini yang paling menyedihkan, di samping tentu juga kita kutuk. Ini menyedihkan karena anak-anak diikutsertakan," kata Jusuf Kalla kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa (15/5).
Aksi terorisme dengan menggunakan bom bunuh diri menjadi tindak pidana yang paling sulit untuk diselidiki. Jusuf Kalla menyebut, karena perbuatannya tidak wajar dan tidak masuk di akal sehat.
"Contohnya, bagaimana anak-anak itu bisa dilibatkan. Coba bayangkan saja, sampai saya sangat sedih, apa yang dikatakan (pelaku orang tua) kepada anaknya sebelum pergi? Pasti dia bilang 'Nak, ya kita ketemu di surga lah', bayangkan itu. Jadi memang tidak mudah orang apabila mau bunuh diri," jelasnya.
(Baca juga: Kapolri Sebut Pengebom Mapolrestabes Surabaya Satu Keluarga)
Rentetan aksi terorisme yang terjadi di wilayah Surabaya pada Ahad (13/5) hingga Senin (14/5), melibatkan anak-anak. Dalam serangan bom di tiga gereja di Surabaya, diketahui ada empat anak-anak yang dilibatkan. Empat anak itu adalah FS (12), FR (9), FH (16) dan YF (18), yang merupakan anak-anak dari pasangan Dita Upriyanto dan Puji Kuswati. Empat anak tersebut tewas.
Kemudian dalam bom yang meledak di lantai 5 blok B Rusunawa Wonocolo, Sepanjang, Sidoarjo, pada Ahad (13/5) malam, RAR (17) tewas bersama kedua orang tuanya. Terakhir, dalam serangan bom di Mapolrestabes Surabaya pada Senin (14/5), pelaku teror juga membawa anak-anak dalam aksinya. Satu anak berinisial MDSM (16) tewas, sedangkan APP (8) selamat.