Rabu 16 May 2018 05:03 WIB

Bunuh diri dari Zaman Yunani Hingga Aksi 'Bom Gila' Surabaya

Di rimba dan savana tak ada harimau atau singa yang tega memangsa anaknya sendiri.

Personel penjikan bom (Jibom) bersiap melakukan identifikasi di lokasi ledakan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Ngagel Madya, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5).
Foto:
Lukisan The death of Seneca (1684) karya Luca Giordano. Senaca tewas karena bunuh diri.

Pada Abad Pertengahan, gereja Kristen mengucilkan orang-orang yang mencoba bunuh diri dan mereka yang meninggal karena bunuh diri dimakamkan di luar kuburan yang dikonsekrasikan. Bahkan, sebuah peraturan pidana yang dikeluarkan oleh Louis XIV dari Perancis pada 1670 jauh lebih berat hukumannya. Mayat orang yang meninggal karena bunuh diri itu ditarik melalui jalan-jalan, menghadap ke bawah, dan kemudian digantung atau dibuang ke tumpukan sampah. Selain itu, semua properti orang itu disita.

Namun, sikap terhadap aksi bunuh diri perlahan mulai bergeser seiring datangnya zaman Renaissance. Seorang humanis asal Inggris, Thomas More, dengan menulis 'Utopia' pada tahun 1516 menyatakan bahwa seseorang yang menderita penyakit dapat "membebaskan diri dari kehidupan pahit ini. Katanya, karena dengan kematian dia akan mengakhiri tidak untuk menikmati tetapi untuk menyiksa, Dan (tindakan bunuh diri) itu akan menjadi saleh dan aksi suci ”.

Tulisan dan kajian dari karya John Donne, Biathanatos, malah menganggap salah satu pertahanan modern pertama dari bunuh diri malah mengkaitkan aski bunuh diri dengan mengkaitkan perilaku tokoh-tokoh Alkitab, seperti Yesus, Samson, dan Saul. Pada intinya Donne malah menghadirkan argumen atas dasar alasan dan sifat untuk menyetujui bunuh diri dalam keadaan tertentu.

Dan sampai akhir abad 17 dan awal abad ke-18, bunuh diri malah dipakai sebagai celah alasan yang diciptakan untuk menghindari kutukan yang dijanjikan oleh sebagian besar doktrin Kristen sebagai hukuman bunuh diri. Salah satu contoh terkenal dari seseorang yang ingin mengakhiri hidup mereka tetapi menghindari kekekalan di neraka adalah Christina Johansdotter (meninggal 1740). Dia adalah seorang pembunuh Swedia yang membunuh seorang anak di Stockholm dengan tujuan tunggal untuk dieksekusi. Kasus ini adalah contoh dari mereka yang mencari bunuh diri melalui eksekusi dengan melakukan pembunuhan.

Beralih ke masa kekinian, ternyata pemahaman atas bunuh diri yang dimulai dari munculnya gerakan sekularisasi masyarakat yang di mulai pada masa ‘Pencerahan/Renaissance. Mulai saat itu kemudian ada pihal yang berani mempertanyakan sikap religius tradisional yang dianggap sebagai pemicu tindakan menuju bunuh diri yang malah akhirnya membentuk kelaziman bunuh diri sebagai mode.

Pemikir semacam, David Hume, membantah bahwa bunuh diri adalah kejahatan karena tidak mempengaruhi siapa pun dan berpotensi menguntungkan individu. Dalam Esai 1777-nya tentang Bunuh Diri dan Keabadian Jiwa ia bertanya, "Mengapa saya harus memperpanjang keberadaan yang menyedihkan, karena beberapa keuntungan sembrono yang mungkin diterima publik dari saya?" Jadi pada abad ke-19, tindakan bunuh diri telah bergeser dari yang dilihat sebagai disebabkan oleh dosa menjadi disebabkan oleh kegilaan  yang terjadi di kalangan orang-orang di Eropa.

Meskipun begitu, bunuh diri tetap ilegal selama periode ini. Malahan aksi bunuh diri malah semakin menjadi sasaran tudingan nyinyr atau komentar satir, seperti iklan spoof pada tahun 1839 Bentley's Miscellany untuk London ‘Suicide Company’ atau musikal ‘Gilbert and Sullivan The Mikado’ yang penuh satiris terhadap gagasan mengeksekusi seseorang yang sudah bunuh diri.

Pada 1879, hukum Inggris mulai membedakan antara bunuh diri dan pembunuhan, meskipun bunuh diri masih mengakibatkan penyitaan tanah.  Pada tahun 1882, jenazah seseorang yang bunuh diri mulai diizinkan dimakamkan pada siang hari di Inggris, Uniknya lagi, pada pertengahan abad ke-20, bunuh diri telah menjadi legal di banyak dunia barat.

Kehidupan adalah anugerah berharga dari Allah SWT. Segera ajak bicara kerabat, teman-teman, ustaz/ustazah, pendeta, atau pemuka agama lainnya untuk menenangkan diri jika Anda memiliki gagasan bunuh diri. Konsultasi kesehatan jiwa bisa diakses di hotline 119 extension 8 yang disediakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes juga bisa dihubungi pada 021-500-454. BPJS Kesehatan juga membiayai penuh konsultasi dan perawatan kejiwaan di faskes penyedia layanan
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement