REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengecam perempuan dan anak-anak yang dilibatkan dalam aksi bom bunuh diri di Kota Surabaya, Jawa Timur, Ahad (13/5) kemarin. Yohana mengatakan, Kementerian PPPA siap memberikan bantuan pendampingan trauma healing bagi korban teror bom.
"Kementerian PPPA mengutuk keras segala bentuk tindakan terorisme dan radikalisme, keprihatinan pula sebab perempuan dan anak-anak dilibatkan sebagai pelaku peledakan bom bunuh diri," katanya saat acara di Jakarta, Senin (14/5).
Yohana mengatakan, pelibatan anak dalam tindakan terorisme dan radikalisme dapat dikenakan Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU Perlindungan Anak di pasal 76 jelas menyatakan anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam kegiatan atau perlakuan salah.
Karena itu, Yohana meminta perempuan mesti melihat potensinya sebagai aset negara yang harus diberdayakan untuk pembangunan. "Perempuan sebaiknya fokus pada hal positif untuk mengembangkan potensinya, supaya jadi perempuan mandiri dan terlibat salam semua aspek pembangunan" ujarnya.
Yohana juga mengimbau pentingnya membangun ketahanan keluarga serta kepekaan terhadap lingkungan agar mengantisipasi keluarga tidak terpengaruh atau terbawa radikalisme. Dalam hal ini, kepala keluarga juga berperan penting terhadap perlindungan keluarganya.
"Kementerian PPPA siap berikan bantuan pendampingan trauma healing bagi para korban yang membutuhkan melalui unit pelaksana teknis daerah (UPTD) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di daerah," ujarnya.
(Baca juga: Kapolri Duga Pelaku Pengeboman di Surabaya Sekeluarga)
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan, berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa para pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya adalah satu keluarga. Pelaku pengeboman di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Jalan Arjuna, Surabaya, adalah Dita Upriyanto yang diduga kuat adalah bapak dari keluarga pelaku pengeboman.
Kemudian, pelaku pengeboman yang melancarkan aksinya di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Diponegoro, Surabaya, diduga kuat adalah istri dari Dita bernama Fuji Kuswati. Saat melancarkan aksinya, Fuji juga membawa dua anak perempuannya bernama FS (12) dan FR (9). Terakhir, yang melakukan pengeboman di Gereja Santa Maria, Jalan Ngagel, Surabaya, diduga kuat dua anak laki-laki dari Dita dan Fuji. Menurut Tito, kedua anak yang dimaksud bernama YF (18) dan FH (16).
(Baca juga: Bom tak Sengaja Meledak, Anak dan Istri Ikut Meninggal)
Kemudian, pada Ahad malam, bom rakitan meledak di lantai 5 blok B Rusunawa Wonocolo, Sepanjang, Sidoarjo. Ada enam orang yang terdiri atas satu keluarga yang menjadi korban. Korban meninggal dunia adalah Anton Febrianto (47) yang merupakan kepala keluarga, istrinya bernama Puspita Sari (47), dan satu anak perempuannya bernama RAR (17).
Sementara itu, tiga korban lainnya, yang merupakan anak Anton dan Puspita, dinyatakan masih hidup. Ketiganya tidak mengalami luka, tetapi dua anak harus menjalani perawatan. Serangan teror terakhir yang melibatkan anak-anak terjadi pada Senin (14/5), yang menyasar Mapolrestabes Surabaya.
(Baca juga: Kapolri Sebut Pengebom Mapolrestabes Surabaya Satu Keluarga)
Kapolri mengatakan, pelaku penyerangan bom di Mapolrestabes Surabaya pada Senin (14/5) pagi merupakan satu keluarga. Kapolri mengungkapkan, penyerang Mapolrestabes Surabaya merupakan kelompok sama yang menyerang tiga gereja di Kota Surabaya, Ahad (14/5) kemarin.
"Ada lima orang. Mereka ini masih satu keluarga, lagi masih diidentifikasi oleh kita," ujarnya, Senin (14/5).
Dalam aksinya, lima orang itu meledakkan diri dan empat di antaranya meninggal dunia. "Mereka mau masuk dan penjagaan cukup ketat. Saat disetop ada mobil anggota masuk, kemudian ada ledakan. Empat orang meninggal, anak tersebut terlempar, masih selamat," ungkapnya.