Senin 14 May 2018 05:00 WIB

Melepas Belenggu Kapitalisme Dana Desa

Kata kunci Dana Desa adalah swakelola.

Edy Sutriono  ASN Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov.Kepri, Kemenkeu RI
Foto: dok. Pribadi
Edy Sutriono ASN Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov.Kepri, Kemenkeu RI

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Edy Sutriono,S.E.,M.M.,M.S.E*

 

Dana Desa sebagai salah satu kebijakan belanja publik tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ini berarti Dana Desa telah menjadi kesepakatan bersama antara rakyat yang direpresentasikan DPR dengan pemerintah. Kesepakatan apa?

 

Kesepakatan bahwa dana desa ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Dana Desa bertujuan menjawab persoalan kemiskinan, kurangnya akses berbagai fasilitas, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan dan terbatasnya infrastruktur perdesaan. Motto membangun Indonesia dari pinggiran dan perdesaan mengiringi kebijakan ekonomi publik ini digulirkan. Makna pembangunan partisipatif sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang adalah bahwa pada prinsipnya Dana Desa dilaksanakan secara swakelola atau gotong royong melibatkan partisipasi masyarakat desa dengan memaksimalkan penggunaan material desa setempat. 

 

Arah kebijakan Dana Desa diharapkan berujung kepada peningkatkan pendapatan masyarakat desa, sehingga dapat mengurangi penyakit ekonomi berupa kemiskinan dan kesenjangan desa. Terbatas pada konteks Dana Desa tersebut berarti negara sedang mengarahkan gerak kebijakan ekonomi publik pada pembangunan yang berkeadilan sosial (equity). Sudut pandang negara yang menganut konsep Welfare State, seperti Indonesia, memang tidak semata hanya mengutamakan satu sisi yakni efisiensi (efisiensi: hal yang sering dibanggakan pemilik modal) dan memenuhi kepentingan siapapun yang dapat disebut pemilik modal.

 

Argumen yang dibangun dalam mendukung kebijakan Dana Desa yaitu argumen kontraktarian yang menyatakan uang publik dapat didistribusikan untuk golongan lemah/miskin atau yang tidak memiliki sumber daya untuk berkontribusi membayar pajak. Lebih lanjut argumen tersebut menyebutkan bahwa setiap manusia tidak memiliki kekuasaan untuk lahir dalam lingkungan mampu atau tidak mampu. Dengan demikian, pemilik modal selaku golongan kuat sudah selayaknya membantu masyarakat umum selaku golongan lemah dalam penyediaan akses  terhadap berbagai fasilitas dan dalam hal ini adalah desa. Negara pada suatu kondisi tertentu perlu mengutamakan segi keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Mengapa demikian? 

 

Karena keinginan menciptakan keadilan (equity) tersebut seringkali berbeda dengan persepsi dan cara berpikir ekonomi para pemilik modal. Mereka berpandangan pengenaan pajak sebagai sumber pembiayaan Dana Desa akan menambah biaya dan mengurangi kekayaan/modalnya. Sebagai konsekuensi, pemilik modal tentu menginginkan posisi kesejahteraan dan efisiensinya sedapat mungkin dipertahankan pada level semula bahkan dapat ditingkatkan sebagai kompensasi membayar pajak. Pemilik modal dalam melakukan usahanya berpikir dan berusaha untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dan seringkali menggunakan segala upaya.

 

Dengan prinsip pemilik modal tersebut, pemerintah seringkali tidak dapat melakukan intervensi pasar guna memperoleh keuntungan bersama. Harapan pemilik modal tersebut tak terkecuali untuk pelaksanaan anggaran dana desa yang dibiayai dari pengumpulan pajak tadi. Lebih lagi, sesungguhnya mereka tidak menginginkan uangnya kemudian hanya dibagikan secara “cuma-cuma” dengan Dana Desa yang dikerjakan swakelola. Pemilik modal mengharapkan pekerjaan dalam rangka pembangunan dan pemberdayaan desa dapat mereka lakukan dengan kontraktual. Mengatasnamakan swakelola yang dikerjakan masyarakat desa tidak efisien, output yang dihasilkan tidak optimal, keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia desa dan berbagai alasan yang dikemukakan.

 

Dana Desa untuk Keadilan Sosial

 

Selanjutnya menurut teori ekonomi “second fundamental theorem of welfare economics”  setidaknya menurut penulis pemerintah telah berada pada posisi tepat untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui Dana Desa. Teori tersebut memberikan solusi dalam mengurangi trade off  efisensi dan berbagai alasan yang diklaim pemilik modal dan keadilan sosial untuk mencapai ekuilibrium yang kompetitif dan properti pareto yang optimal yakni melalui lumpsum transfer pemerintah. Pilihan transfer pemerintah ke masyarakat tersebut dilakukan melalui fungsi alokasi dan distribusi anggaran dalam bentuk uang (cash transfer) atau dalam bentuk barang (in kinds transfer). Secara ekonomi, welfare masyarakat meningkat lebih tinggi ketika transfer dilakukan by cash daripada by inkind. Hanya saja by cash ini mempersyaratkan pengawasan pemerintah yang baik agar tepat sasaran.

 

Transfer pemerintah ini sebaiknya diikuti output nyata yang dapat dihasilkan atau kita kenal dengan cash for work (padat karya tunai). Tujuan lain cash for work adalah menciptakan lapangan kerja dan edukasi kerja masyarakat desa dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa. Selain itu setiap pembangunan yang ada benar-benar tepat sasaran karena direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh masyarakat desa itu sendiri sebagai subjek pembangunan.    

 

Konsep inilah yang relevan digunakan menggulirkan Dana Desa yang fokus kepada swakelola (padat karya), yang secara ekonomi pada hakikatnya merupakan cash transfer pemerintah ke masyarakat desa untuk memenuhi prinsip keadilan sosial (equity). Keinginan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, namun tetap mempertahankan efisiensi pareto dengan menjaga efisiensi dan efektivitas ketika cash transfer dilakukan. Prioritas swakelola Dana Desa melekat digunakan untuk pembangunan desa dan pemberdayaan desa. Oleh karena itu, mengapa bukan bantuan langsung secara tunai tanpa prestasi yang dipilih dalam perspektif Dana Desa ini. Mencoba memahami kebijakan Dana Desa adalah bagaimana sejumlah dana yang telah dikumpulkan dari pemilik modal melalui pajak dapat digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan desa. Lebih lanjut dalam melakukan pembangunan dan pemberdayaan desa dapat melakukan cash transfer ke masyarakat desa untuk menciptakan lapangan kerja, sehingga meningkatkan pendapatannya dan mengurangi kemiskinan desa. Adapun hasil dari pembangunan desa secara swakelola seperti jalan, jembatan, dan village of product, minimal juga dapat berkontribusi manfaat untuk pemilik modal.

 

Prioritas Cash For Work 

 

Kata kunci Dana Desa adalah swakelola. Namun demikian masih saja pemilik modal berupaya dengan argumennya agar Dana Desa sebesar mungkin dapat dikerjakannya melalui kontraktual. Upaya pemerintah menegaskan kembali pada 2018 ini melalui program padat karya tunai (cash for work) minimal 30 persen dari alokasi Dana Desa sepertinya menghadapi tantangan. Tantangan perencanaan kegiatan, penyusunan anggaran desa, dan pelaksanaannya. Pengaturan pengadaan barang/jasa di desa pun sudah ditegaskan bahwa pada prinsipnya dilakukan secara swakelola dan sangat dibatasi ketika hanya tidak dapat dilaksanakan secara swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan baru dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa (pemilik modal) yang dianggap mampu. 

 

Ditinjau dari sisi skala pekerjaan, pekerjaan yang dibiayai Dana Desa dapat dikategorikan skala kecil. Skala menengah dan besar memang bukan wilayah Dana Desa, namun anggaran pemerintah pusat dan daerah. Variasi pekerjaan program Dana Desa juga dapat dikerjakan masyarakat desa. Pelaksanaan Dana Desa secara swakelola walaupun dipandang memiliki banyak kelemahan, akan tetapi dalam perspektif pareto improvement dipandang sangat tepat untuk dilaksanakan di perdesaan. Hal penting adalah pengawasan pelaksanaan pekerjaan yang didanai Dana Desa berjalan secara efisien, dimana dalam setiap pengerjaannya terjadi nilai tambah. 

 

Pada akhirnya, pembuat kebijakan ekonomi publik suatu saat berhak memilih keadilan (equity) sebagai argumen keputusannya. Kebijakan dana desa mungkin saja tidak memenuhi keinginan pemilik modal, namun lebih memenuhi keadilan (equity) sosial bagi seluruh rakyat, khususnya masyarakat desa sebagai penopang terkecil perekonomian nasional. Langkah terbaik adalah bila seluruh komponen bangsa menyadari hal ini dan bersinergi serta melepas segala atribut dan kepentingan demi pembangunan masyarakat desa dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mari bersama kita sukseskan dan kawal Dana Desa - Cash For Work.

 

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

 

 

 

*Penulis adalah Kepala Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau

Jl. Raja Haji Fisabillilah Blok B KM 8 Atas No.1-5 

Tanjungpinang

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement