REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kota Bandung memiliki tiga nama jalan baru yang diresmikan melalui acara Harmoni Budaya Jawa Sunda yang digelar Pemerintah Provinsi Jawa Barat di depan Gedung Sate, Jumat (11/5). Ketiga nama jalan tersebut adalah Jalan Majapahit yang menggantikan Jalan Gasibu, Jalan Hayam Wuruk menggantikan nama Jalan Cimandiri, dan Jalan Citraresmi yang merupakan nama belakang Dyah Pitaloka, menggantikan nama Jalan Pusdai.
"Peresmian ketiga jalan ini adalah akhir rangkaian rekonsiliasi budaya Jawa dan Sunda melalui pertukaran nama jalan di DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat," kata Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, Jumat (11/5).
Karena, kata dia, selama ini terdapat mitos yang menyatakan tidak ada nama jalan Siliwangi dan Pajajaran di Jawa Timur dan Yogyakarta. Begitupun sebaliknya, tidak ada nama jalan Hayam Wuruk dan Majapahit di Jawa Barat.
Hal ini dipengaruhi pertentangan psikologis dan budaya antara Jawa dan Sunda melalui peristiwa perang Pasunda Bubat antara Kerajaan Majapahit dan Pajajaran, 661 tahun lalu. Perang yang terjadi saat itu menggagalkan pernikahan antara Hayam Wuruk dari Majapahit dengan Dyah Pitaloka Citraresmi dari Pajajaran.
Rekonsiliasi budaya pun dimulai oleh Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X pada 2017 dengan meresmikan Jalan Pajajaran dan Jalan Prabu Siliwangi di Yogyakarta. Disusul oleh Gubernur Jatim, Soekarwo yang meresmikan Jalan Sunda dan Jalan Prabu Siliwangi di Surabaya, mengingat Jalan Pajajaran sudah sejak lama ada di Surabaya.
"Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Hamengkubowono karena tanpa ada diskusi apapun, tiba-tiba dapat undangan untuk menghadiri acara peresmian Jalan Pajajaran dan Siliwangi di jantung Kota Yogyakarta," ujar Ahmad Heryawan yang akrab disapa Aher.
Aher mengatakan, kejadian Perang Pasundan Bubat yang kemungkinan direka kembali oleh Belanda saat zaman penjajahan untuk memecah bangsa Sunda dan Jawa, jangan sampai menghalangi persatuan bangsa. Selain itu, benar atau tidaknya kejadian tersebut, harus dimaafkan.
Aher menjelaskan, pemilihan nama Gasibu, yang dipilih diganti jadi Hayam Wuruk karena pemilihan tersebut berdasarkan musyawarah. Karena, letaknya yang strategis maka saat mengganti jalan harus dimusyawarahkan agar tak diprotes masyarakat.
"Oleh karena itu kami menghormati dan mengharmoniskan segalanya agar masyarakat menerima. Kemudian tentu dipilih yang mungkin itulah pemilihan-pemilihan nya," katanya.
Musyawarah pemilihan jalan tersebut, kata dia, dilakukan oleh pemprov, budayawan dan juga akademisi. Kajian itu, cukup lama kajian semenjak penetapan jalan 'Sunda' di Yogyakarta.
"Sudah terus ada kajian sampai dikaji sangat mendalam para pakar," katanya.
Pertemuan membahas nama jalan ini, kata dia, sudah mulai dilakukan pada 2015 hanya pertemuan kecil para budayawan. Nama Jalan Citraresmi sendiri, dipilih berdasarkan aspirasi masyarakat Jabar lewat budayawan.
"Sebenarnya, ada tokoh yang paling fenomenal di situ namanya Dyah Pitaloka, Citraresmi dan Candrawulan. Lalu, dipilih lah Citraresmi. Walaupun semuanya indah tapi menurut para sejarawan paling indah itu Citraresmi itu kira-kira alsannya keindahannya," katanya.