Kamis 10 May 2018 22:45 WIB

Alasan Kapolri tak Segera Bertindak Tegas di Mako Brimob

Polisi memerlukan waktu hingga 36 jam untuk mengakhiri kerusuhan.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian (tengah) memberikan keterangan usai meninjau lokasi kerusuhan antara narapidana dan petugas kepolisian di Rutan cabang Salemba, Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (10/5).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (tengah) memberikan keterangan usai meninjau lokasi kerusuhan antara narapidana dan petugas kepolisian di Rutan cabang Salemba, Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan alasan Polri tidak segera mengambil tindakan tegas dalam kasus kerusuhan di Rumah Tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Polisi memerlukan waktu hingga 36 jam untuk mengakhiri kerusuhan yang bermula pada Selasa (8/5) malam. 

Dalam konferensi pers di Mako Brimob, Kamis (10/5), Kapolri menuturkan saat itu pihaknya memiliki pilihan langsung masuk atau memberikan peringatan terlebih dahulu. Menurut dia, adanya pro dan kontra dalam kelompok narapidana menjadi pertimbangan.

"Itulah yang menjadi opsi kami, agar jangan ada korban banyak padahal ada napi yang tidak ingin melalukan kekerasan," kata Tito.

Ia mengaku paham tindakan tegas perlu dilakukan. Tetapi adanya pro dan kontra tersebut membuat Polri memilih untuk memberikan peringatan kepada narapidana sampai Kamis pagi.

Sepanjang malam, kata dia, peringatan telah disampaikan dan kemudian satu sandera anggota polisi Brigadir Iwan Sarjana dilepaskan, dan paginya narapidana menyerah tanpa syarat.

"Ini memang standar internasional, juga standar HAM dengan memberikan warning. Dalam kasus penyanderaan, target yang terpenting sandera hidup karena mereka menyandera satu orang," ujar Tito.

Ia menegaskan terdapat dua peristiwa. Pertama penyerangan kepada petugas yang menyebabkan lima orang personel dan satu teroris meninggal dan kedua peristiwa penyanderaan dengan satu anggota polisi yang masih hidup.

Indikator keberhasilan operasi penyanderaan adalah apabila sandera hidup dan berhasil dilepaskan juga dalam kondisi hidup. Selain itu, penyandera yang menjadi korban diusahakan minimal agar dapat diproses hukum.

"Ini harus dibedakan antara memang kita yang bersenjata memiliki aturan dan teroris yang tidak mengikuti aturan," kata Kapolri. 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement