REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejumlah tokoh mantan orang dekat Presiden RI kedua, HM Soeharto, mengingatkan para elite untuk tidak gengsi mempelajari kesuksesan yang ditinggalkan Soeharto. Terlebih pada saat bangsa ini sedang menghadapi tantangan yang berat.
Mantan Menteri Koperasi dan UKM di era Soeharto, Subiakto Tjakrawerdaya, sejumlah tantangan berat sedang dihadapi bangsa ini. Ia menyebutkan angka kemiskinan masih tinggi, adanya ketimpangan sosial, pengangguran, pertumbuhan ekonomi melambat, hingga tantangan revolusi industri 4.0 agar mampu bersaing secara global.
"Adalah menjadi tugas dan kewajiban Kita bersama untuk makin percaya dan setia kepada Pancasila serta terus mengamalkannya secara murni dan konsekuen menjawab berbagai tantangan yang makin rumit, luas dan beragam ini," ujar mantan anggota MPR RI ini.
Ketua Yappindo (yayasan yang menaungi Universitas Trilogi, Jakarta) ini mengatakan kepemimpinan Soeharto yang berbasis nilai-nilai Pancasila mampu memengaruhi anak bangsa selama 32 tahun. Nilai-nilai itu juga mampu membangun republik dengan segala kemajuan dan kesejahteraannya.
Subiakto menyampaikan hal itu pada saat peresmian patung Soeharto di lobi utama Universitas Trilogi, Jakarta. Ia didampingi mantan menko kesra Haryono Suyono dan putri Soeharo, Siti Hediati Hariyadi atau dikenal Titiek Soeharto.
Titiek, mewakili keluarga, menginginkan karya dan prestasi Soeharto bisa menjadi inspirasi seluruh civitas akademika Universitas Trilogi menjawab tantangan zaman. Ia mengatakan pendidikan tidak semata-mata hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. "Tetapi harus juga menjadikan manusia berwatak Pancasila," ujar dia.
Ketua Dewan Pembina Yappindo ini juga mengingatkan perihal semangat kepemimpinan Soeharto, seperti semangat Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Semangat ini mampu menghadirkan kualitas kepemimpinan yang cerdas sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan zaman namun tetap santun dan rendah hati.
Menurut Titiek, rakyat kini bisa membedakan keadaan negeri ini sekarang dengan saat dipimpin ayahnya. Sekarang, ujarnya, daya beli masyarakat melemah karena harga pangan terus merangkak naik. Impor komoditas pangan mengalir, rupiah terpuruk, dan utang membumbung tinggi.
Pada waktu bersamaan, pengangguran meluas dan pekerja asing diberi karpet merah. "Yang terjadi akibatnya angka kemiskinan makin tinggi dan rakyat bukan menjadi tuan di negerinya sendiri," ujar Titiek.