REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane menyatakan rumah tahanan Markas Komando Korps Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, sangat tidak layak menjadi tempat penahanan bagi narapidana kasus terorisme. Rutannya yang kecil tidak sebanding dengan besarnya jumlah napi terorisme.
"Sangat tidak layak, karena kecil, sementara jumlah napi teroris kan 165 orang. Pemerintah atau polisi jangan pernah lagi menempatkan napi teroris dengan jumlah besar di satu tempat, ini berbahaya, karena mereka bisa nekat sementara jumlah sipirnya terbatas," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (10/5).
Neta menuturkan, jumlah sipir penjaga keamanan di rutan Mako Brimob yakni tidak lebih dari 10 orang untuk satu kali shift. Di sisi lain, mereka diharuskan untuk menjaga ratusan napi teroris yang dikumpulkan di satu blok.
Tak hanya itu, sebagian besar sipir di rutan Mako Brimob, lanjut Neta, pun mudah disogok sehingga banyak napi teroris mendapatkan fasilitas yang diperlukan, misalnya telepon genggam. Menurut dia, rata-rata napi teroris memilikinya dan kondisi ini membuat seorang napi merekam video secara langsung di media sosial saat rusuh terjadi.
"Itu karena sipirnya gampang disuap. Kita mantau langsung. Jadi bukan hanya di rutan Mako Brimob tapi juga di semua rutan dan Lapas itu sipirnya gampang disuap. Sebagian besar tahanan dan napi di Republik ini pegang handphone," ujar dia.
Namun, kata Neta, yang patut dikhawatirkan ketika napi teroris memiliki ponsel. Sebab mereka bisa membangun jaringan dari tahanan. "Napi teroris ini beda, mereka bisa membangun jaringannya dari luar, jadi ini harus ada pengawasan yang ekstra ketat," ucapnya.