Selasa 24 Apr 2018 02:11 WIB

Tingkat Peredaran Pestisida Palsu Masih Tinggi di Masyarakat

Mencapai 10 persen dari total pasar pestisida

Pestisida
Foto: Republika/Prayogi
Pestisida

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingginya penggunaan pestisida sebagai pengendali organisme perusak tanaman (opt) membuat pasar pestisida palsu banyak beredar di masyarakat. Salah satu faktor penyebabnya adalah masih rendahnya tingkat kepedulian dan pengetahuan masyarakat, khususnya petani dalam mengidentifikasi pestisida palsu.

Data dari Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) tahun 2010 menyebutkan, pasar pestisida palsu di tanah air mencapai Rp 400 miliar atau sekitar 10 persen dari total pasar pestisida.

"Saat ini ada sekitar 4.000 lebih jenis pestisida yang terdaftar di Kementerian Pertanian. Biasanya yang menjadi bidikan para oknum adalah pestisida yang memang favorit di kalangan petani," ujar Direktur Eksekutif Croplife Indonesia Agung Kurniawan dalam satu diskusi beberapa waktu lalu.

Dengan pelaku pemalsuan yang semakin profesional dan modusnya yang semakin canggih, membuat masyarakat sulit membedakan produk-produk obat pembasmi hama dan penyakit tanaman yang asli dan yang palsu.

Terlebih tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang masih kurang. Masyarakat juga kerap gampang memilih produk yang ditawarkan dengan harga yang lebih murah.

"Ketika petani mendapai harga pestisida yang lebih murah, mereka cenderung akan lebih memilih. Jika pada penggunaanya tidak berdampak, dengan skema pengembalian uang dari penjualnya pun sudah dianggap selesai," kata Agung.

Inilah yang membuat Agung terus melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang identifikasi dan bahaya penggunaan produk pestisida palsu. Terutama di zona merah yang telah dipetakan sebelumnya. Seperti di Kabupaten Subang, Karawang, Brebes, Jember, Probolinggo dan beberapa daerah lainnya.

Kepala Unit V Subdit I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri AKBP Sugeng Irianto mengatakan, peredaran pestisida palsu dan ilegal memiliki dampak hukum yang jelas. Ada tiga pasal yang bisa menjerat peredaran produk pestisida palsu.

Yakni UU no 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp250 juta, kemudian UU no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan hukuman maksimal lima tahun penjara atau denda sebesar Rp 2 miliar.

Selain itu, juga diatur dalam UU no 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dengan hukuman penjara maksimal 10 tahun dan atau denda maksimal Rp 5 miliar.

Dalam penanganannya di masyarakat, kepolisian bertindak berdasarkan dua hal. Yakni penemuan bukti oleh petugas di lapangan serta berdasarkan laporan masyarakat. Untuk itu ia mengajak masyarakat untuk lebih aktif menyampaikan informasi ke kepolisian.

"Laporkan dan sebisa mungkin ditunjang dengan tambahan informasi yang bisa didapat, sehingga akan lebih mudah dan cepat bagi kepolisian untuk membuktikan," kata Sugeng.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement