Ahad 29 Apr 2018 09:18 WIB

Politikus Golkar: Perlu Ada Sinergi RUU-Perda Minol

Saat ini, RUU Larangan Minuman Beralkohol masih dalam pembahasan.

Anggota Komisi III DPR RI Adies Kadir di sela-sela kunjungan kerja spesifik Komisi III DPR ke Lapas Kerobokan, Badung, Bali.
Foto: DPR
Anggota Komisi III DPR RI Adies Kadir di sela-sela kunjungan kerja spesifik Komisi III DPR ke Lapas Kerobokan, Badung, Bali.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Anggota Komisi III DPR RI Adies Kadir mengharapkan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol dan peraturan daerah yang mengatur tentang minuman keras bisa saling bersinergi. Saat ini, RUU Larangan Minuman Beralkohol masih dalam pembahasan.

"Semua harus sinergi, makanya di DPR RI dibuat RUU minuman keras agar semua daerah mengetahui data-datanya, tempat mana saja yang menjual minuman keras mulai dari tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi," kata Adies Kadir di Surabaya, Ahad (29/4).

Menurut dia, penanganan peredaran minuman beralkohol tidak bisa hanya mengandalkan aparat hukum seperti kepolisan dan bea cukai saja. Akan tetapi, pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan juga guru di sekolah.

Untuk itu, lanjut dia, dia menyarankan agar ada perda peredaran minuman keras di kabupaten/kota di Indonesia yang membatasi minuman keras yang boleh beredar umum. Atau, dia menyebutkan, pelarangan pembuatan minuman keras oplosan atau racikan yang membahayakan manusia.

Khusus untuk Kota Surabaya, politikus Partai Golkar ini mengatakan pada saat dirinya menjadi Anggota DPRD Surabaya periode 2009-2014 sudah ada raperda pembatasan peredaran minuman keras di DPRD Surabaya. Raperda tersebut, lanjut dia, mengatur dengan detail golongan atau kelas (tempat) mana saja yang boleh untuk menjual minuman keras. 

"Hanya saja pada tahap revisi, raperda tersebut dikembalikan Gubernur Jatim dengan alasan tertentu sehingga sekarang banyak korban akibat minuman keras," katanya.

Adies menyatakan tidak sepakat jika ada pelarangan minuman keras secara total di Surabaya, melainkan dibatasi. Hal ini menyusul pendapatan asli daerah (PAD) Surabaya dari bidang pariwisata cukup besar.

"Khusus tempat-tempat pariwisata ini tidak bisa dibatasi. Banyak orang asing yang datang ke Surabaya masih memerlukan itu. Jadi harus dibatasi saja peredarannya," kata ketua Mahkamah Partai Golkar ini.

Ia berharap pengaturan peredaran minuman keras di Kota Surabaya berupa perda tidak merugikan masyarakat dan juga tidak mengganggu unsur pariwisata. 

RUU Minuman Beralkohol adalah RUU inisiatif DPR yang masuk Prolegnas Prioritas sejak 2015. RUU ini juga sebenarnya sudah mulai dibahas sejak DPR periode 2009-2014. Dalam RUU ini, minuman beralkohol dilarang diproduksi, diedarkan dan dikonsumsi kecuali untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang sangat terbatas, misalnya kebutuhan farmasi, ritual adat, keagamaan serta wisata.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebelumnya menilai peredaran minuman keras di Kota Pahlawan tidak bisa dilarang secara total, melainkan harus dikontrol secara ketat. "Kota ini sudah internasional, makanya asal pengaturannya benar-benar bagus, contohnya di negara Malaysia ngomong negera muslim, tapi ya tetap ada, tapi dikontrol," katanya.

Menurut dia, dalam hal ini yang paling penting adalah kontrolnya. Peristiwa tewasnya sejumlah warga di Kota Surabaya akibat minuman keras oplosan, kata Risma, karena tidak ada kontrol.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement