Jumat 27 Apr 2018 15:16 WIB

Pelemahan Rupiah dan Dampaknya Terhadap Utang Pemerintah

Setiap kenaikan kurs sebesar Rp 100 per dolar AS membuat utang naik Rp 10,9 triliun

Rep: Ahmad Fikri Noor, Amri Amrullah/ Red: Budi Raharjo
Petugas menunjukan pecahan uang dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Petugas menunjukan pecahan uang dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi akhir-akhir ini berpotensi menghadirkan dampak terhadap utang pemerintah. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih terus menghitung pengaruh dari faktor tersebut.

Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Erwin Ginting menjelaskan, posisi utang pemerintah per akhir Maret 2018 mencapai Rp 4.136 triliun. Komponen utang dalam denominasi valuta asing (valas) 109 miliar dolar AS dengan kurs Rp 13.750 per dolar AS.

"Kalau stok utang valas yang sama dikonversi dengan kenaikan Rp 100 per dolar AS, total stok utang naik Rp 10,9 triliun," ujar Erwin kepada Republika, Rabu (25/4).

Menurut dia, perubahan nilai tukar akan memengaruhi pembayaran kewajiban utang, yakni membayar pokok dan bunga utang. Dalam perincian DJPPR, pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp 394 triliun dan pada tahun depan sekitar Rp 420 tri liun. Dengan begitu, total beban pokok dan bunga utang Rp 814 triliun.

Meski begitu, Erwin menilai, kondisi pelemahan rupiah saat ini belum mengkhawatirkan. Ia mengatakan, kondisi sekarang masih jauh jika dibandingkan dengan krisis moneter 1998. Saat itu, rupiah terdepresiasi lebih dari 100 persen, utang pemerintah didominasi valas, dan cadangan devisa terbatas.

"Utang pemerintah dalam valas kurang dari 40 persen total utang. Sumber-sumber pembiayaan dalam negeri lebih banyak. Cadangan devisa kita juga mencapai 126 miliar dolar AS," katanya.

Erwin juga menyebut, pelemahan rupiah tidak berdampak signifikan pada peningkatan utang jatuh tempo tahun ini. "Utang jatuh tempo dalam valas akan terdampak, tapi tambahan dalam rupiahnya relatif kecil. Utang jatuh tempo tahun 2018 sekitar Rp 394 triliun dan mayoritas dalam rupiah," ujarnya.

Direktur Strategi dan Porto folio Pembiayaan DJPPR Kemenkeu Scenaider Siahaan menambahkan, Kemenkeu masih menghitung dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ia mengaku perlu ada perhitungan secara cermat terkait efek kurs pada utang pemerintah.

"Kalau sekarang masih terlalu dini untuk melihat efeknya, mengingat pembayaran kewajiban tersebar dari awal tahun sam pai ke akhir tahun. Nanti setelah realisasi satu semester akan lebih mudah untuk melihat gambaran utuhnya," ujar Scenaider melalui pesan singkat, Kamis (26/4).

Terkait utang pemerintah, anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam mengingatkan pelemahan nilai tukar rupiah patut diwaspadai. Sebab, hal tersebut akan berdampak pada pening katan beban pembayaran utang pemerintah. "Saat ini untuk utang pemerintah saja ada sekitar 109 miliar dolar AS yang memakai valas. Hal tersebut tentu akan membebani APBN," kata Ecky.

Oleh karena itu, dia mengingatkan pemerintah dan BI agar siaga dengan perkembangan nilai tukar rupiah saat ini. Rupiah kini sudah hampir menembus Rp 14 ribu per dolar AS. Ecky pun meminta pemerintah dan BI tidak hanya menyalahkan kondisi eksternal. "Yang seharusnya fokus pemerintah dan BI bekerja memperkuat fundamen ekonomi, untuk mengembalikan ke percayaan stakeholder terhadap perekonomian kita," ujarnya.

Menurut Ecky, alasan dari sisi global berupa rencana ke naikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (the Federal Re serve/ the Fed) tentu memengaruhi. Akan tetapi, perlu diingat penurunan kepercayaan pemangku kepentingan, pasar, investor, dan publik pada pemerintah menjadi penyebab.

Ecky menilai, capital outflow (aliran keluar dana asing) juga terjadi karena ada ketidakpercayaan investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia. "Misalkan risiko utang yang terus meningkat, serta pengelolaan fiskal yang tidak kredibel, yang tecermin dari shortfall pajak yang terus terjadi selama pemerintahan Pak Jokowi," katanya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu juga menilai pemerintah gagal mengoptimalkan investment grade yang diraih tahun lalu. Utang yang ditarik nyatanya tidak menggerakkan ekonomi. Hal itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ada di level biasa di antara negara-negara emerging market.

Intervensi BI

Tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah terjadi sejak awal pekan lalu. Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Kamis (26/4), bergerak menguat 51 poin menjadi Rp 13.871 dibanding posisi sebelumnya Rp 13.922 per dolar AS.

Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah ke posisi Rp 13.930 dibandingkan posisi sebelumnya Rp 13.888 per dolar AS. "BI yang melakukan intervensi membuat nilai tukar rupiah mengalami apresiasi terhadap dolar AS," ujar analis PT Valbury Asia Futures Lukman Leong di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, BI melakukan operasi pasar dalam rangka menjaga fluktuasi rupiah agar tidak terlalu bergejolak akibat meningkatnya optimisme pelaku pasar uang terhadap kenaikan suku bunga the Fed. "Dengan fluktuasi rupiah yang stabil diharapkan tidak mengganggu aktivitas ekonomi nasional," katanya.

Di sisi lain, lanjut Lukman, pengutan rupiah juga terbantu oleh ekspektasi pertumbuhan ekonomi nasional yang masih akan terus berlanjut seiring dengan masih dipertahankan suku bunga BI 7-day Reverse Repo Rate. "Suku bunga kita cukup mampu menjaga pertumbuhan ekonomi dan menahan tekanan eksternal."

Ke depan, Lukman mengatakan, sejumlah data ekonomi dari dalam negeri akan dirilis, di antaranya laju inflasi periode April dan sejumlah data lainnya. Diperkirakan, hasil rilis masih stabil sesuai dengan target pemerintah. n  ed: muhammad iqbal

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement