Jumat 27 Apr 2018 15:14 WIB

Fahira Idris: Landasan Perpres Tenaga Kerja Asing tidak Kuat

Kekhawatiran soal perpres dan keberadaan TKA hal yang wajar dan harus disuarakan

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Gerakan Nasional Anti Miras Fahira Idris menyampaikan pendapatnya saat diskusi forum legislasi di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/11).
Foto: ANTARA FOTO
Ketua Gerakan Nasional Anti Miras Fahira Idris menyampaikan pendapatnya saat diskusi forum legislasi di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris menanggapi kontroversi terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Menurutnya, landasan penerbitan perpres ini tidak kuat terutama jika dilihat dari sisi sosiologis dan yuridis.

"Dari sisi sosiologis, perpres ini dianggap tidak mencerminkan keadaan atau kenyataan yang ada di dalam masyarakat yang saat ini kesulitan mencari pekerjaan. Sementara dari sisi yuridis, beberapa pasal dalam perpres ini dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," kata Fahira, dalam keterangan tertulis, Jumat (27/4).

Menurut dia, perpres ini tidak sensitif dan responsif terhadap kondisi masyarakat Indonesia. Ia menilai, apabila rakyat mudah mencari pekerjaan gerakan tolak Perpres TKA tidak akan seperti yang terjadi saat ini.

"Cara pemerintah menjawab persoalan dengan membandingkan besarnya jumlah TKI kita di luar negeri sangat tidak bijak dan relevan. Di Malaysia, Saudi Arabia, Hongkong, atau Singapura, selain angka pengangguran rendah, TKI bekerja di sana karena negara-negara ini membutuhkan. Jadi tidak releven alasan seperti ini," ujar Fahira.

Berbagai kemudahan bagi TKA dalam perpres ini juga dianggap menabrak pasal-pasal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antaranya dokumen pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang otomatis menjadi izin untuk mempekerjakan TKA.

Padahal dalam UU Tenaga Kerja, RPTKA hanya salah satu syarat karena ada syarat lain yang harus dipenuhi yaitu dokumen Izin Menggunakan TKA. Bagi Fahira, kekhawatiran masyarakat terhadap perpres dan keberadaan TKA adalah hal yang wajar dan memang harus disuarakan.

Selain belakangan ini marak berbagai temuan dan pemberitaan terkait TKA ilegal, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) juga menemukan fakta bahwa hampir tiap hari banyak TKA khususnya yang berasal dari Cina masuk ke Indonesia dan bekerja sebagai buruh kasar. Maladministrasi pada proses masuknya TKA dianggap sebagai jalan yang memudahkan masuknya TKA ilegal ke beberapa wilayah di Indonesia.

Ia menilai, biang persoalan TKA diawali dari Perpres Nomor 21 Tahun 2016 tentang bebas visa kunjungan terhadap 196 negara dan Permenaker Nomor 35 Tahun 2015 yang menghapuskan kewajiban TKA bisa berbahasa Indonesia, tidak pernah dievaluasi oleh pemerintah. Pada akhirnya di lapangan banyak ditemukan TKA ilegal dan TKA legal tetapi bekerja sebagai buruh kasar dan supir yang seharusnya bisa menggunakan tenaga lokal.

"Saya mau ingatkan Pemerintah bahwa persoalan TKA ini serius dan bisa merembet ke mana-mana bahkan bisa langsung ke masyarakat di mana terdapat kantong-kantong TKA berada. Jangan sampai terjadi gesekan sosial karena ini berbahaya," lanjut dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement