Sabtu 21 Apr 2018 18:18 WIB

Vegetarisme dan Misteri Kematian Kartini

Banyak yang mencurigai ulah dokter Ravesteijn berada dibalik kematian Kartini.

RA KArtini
Foto: .
RA KArtini

REPUBLIKA.CO.ID, Kartini menorehkan kisah tersendiri dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia. Sebagian menorehkannya dalam ingatan sebagai sekadar sosok perempuan berkebaya dan hanya sedikit yang lain mengenalnya sebagai sosok penggugat peradaban yang merindukan hakikat hidup yang setara. Maka, menjadi hal yang menarik ketika menjadikan Kartini sebagai wacana dialektika, termasuk kehidupan pribadi hingga doa-doa Kartini dalam hidupnya.

 

Komunikasi dua arah untuk mengupas kisah hidup Kartini tentunya juga makin menarik manakala membahas perihal apa saja yang Kartini konsumsi semasa hidupnya. Barangkali banyak yang tercengang manakala Kartini dalam Surat Kartini kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya (Brieven aan mevrouw RM Abendanon-Mandri en haar echtngenoot met andere documenten) menyebutkan bahwa vegetarisme itu doa tanpa kata kepada Yang Mahatinggi. Terkonfirmasi kemudian bahwa perempuan yang lahir di Jepara, 21 April 1879, itu adalah seorang vegetarian tulen.

 

Sepenggal suratnya seakan menegaskan bahwa Kartini muda telah memutuskan pantang makan daging sejak usianya amat belia, 14 tahun: "Kami mohon izin kepada Ibunda pantang makan daging, dan Ibunda mengizinkan dengan senang hati, dengan ikhlas. Annie akan sangat marah, kalau dia mendengar tentang pantangan itu, dia selalu marah kalau kami membicarakan rencana kami untuk pantang makan daging. "Kamu mau mati?" tanyanya. Seolah-olah orang yang makan daging tidak mati."

 

Kabar kebohongan itulah yang kemudian merebak bahwa pola makan Kartini-lah yang menjadi salah satu penyebab kematiannya seusai melahirkan.

 

Segelas anggur 

 

Di atas dipan jati cokelat berukir, Djojoadiningrat mendekap Kartini. Pada 17 September 1904 itu, di kamar utama kadipaten yang berukuran 5 meter x 6 meter, perempuan yang baru dinikahinya 10 bulan tersebut perlahan menutup mata untuk selamanya. Usianya baru 25 tahun.

 

"Pikirannya masih jernih dan sampai detik terakhir ia masih sadar sepenuhnya," tulis Bupati Rembang itu, 12 hari kemudian, ketika mengabarkan kematian istrinya kepada Jacques Henrij Abendanon, direktur di Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda.

 

Menurut Djojoadiningrat, setengah jam sebelum ajal menjemput, istrinya masih sehat. Ia hanya mengeluh perutnya tegang. Van Ravesteijn, dokter sipil dari Pati, datang dan memberinya obat. Setelah itu, tiba-tiba ketegangan di perut Kartini menghebat dan 30 menit kemudian dia meninggal. "Dalam pelukan saya dan di hadapan dokter." Banyak yang kemudian mencurigai ulah dokter Ravesteijn yang keturunan Belanda itu. Sebagian orang barangkali berpendapat, tidak ada alasan untuk merencanakan kematian Kartini selain untuk membungkam pemikirannya yang melampaui zaman ketika itu.

 

Di samping juga kematiannya yang mendadak empat hari setelah melahirkan, memang menimbulkan spekulasi yang negatif bagi sebagian kalangan. Dari seorang kawan yang kenal Ravesteijn, didapatkan informasi bahwa Ravesteijn adalah dokter yang tidak dapat dipercaya. "Kudanya saja tidak akan dipercayakan kepada dokter itu," ujarnya seperti dikutip Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini, Sebuah Biografi (1979).

 

Empat hari setelah melahirkan, Dokter Ravesteijn memang datang menjenguk Kartini yang segar bugar hingga saat berpamitan. Keduanya minum anggur sebagai tanda perpisahan. Semenjak itu, kondisi kesehatan Kartini memburuk, hilang kesadaran, hingga ajal menjemput.

 

Preeklampsia

 

Kerabat dan keluarga Kartini memilih untuk menganggap kematian istri ketiga Bupati Rembang itu sebagai kehendak Yang Maha Kuasa. Bagi mereka tak ada alasan yang berarti untuk membunuh atau merencanakan kematian Kartini.

 

Sebagaimana pola makan vegetarian yang dituduhkan menjadi salah satu penyebab kematian Kartini lantaran potensi kekurangan nutrisi saat hamil, dokter dan para ahli gizi di era modern justru memperkirakan kematian putri Jepara itu kemungkinan lantaran preeklampsia atau tekanan darah yang terus meningkat saat dan sesaat setelah kehamilan.

 

Sayangnya, memang tidak pernah ada riwayat dan jejak medis yang tersimpan atas kondisi terakhir Kartini yang dapat membuktikan spekulasi-spekulasi yang berkembang.

 

Namun pakar gizi alumnus UI Dr Susianto Tseng menegaskan, bahwa vegetarisme barangkali merupakan tren yang masih amat baru di era Kartini. Namun dalam sejarahnya, pola makan vegetarian sudah tergolong tua, bahkan di Inggris organisasi vegetarian pertama telah berdiri sezaman dengan Boedi Oetomo di Indonesia, yakni pada 1908.

 

Dia mengatakan, sudah banyak jurnal ilmiah, bahkan dari FAO dan WHO pun telah mengakui bahwa Vegetarian aman untuk segala umur dan segala golongan. Meski dapat dimengerti kematian RA Kartini memang masih kontroversi, tapi nyaris tanpa bukti apapun entah diracun atau preeklampsia.

 

Dalam praktiknya, ia menegaskan, preeklampsia justru sangat jarang terjadi pada kelompok vegetarian. Public Relation Indonesia Vegetarian Society Karim yang telah menjalani pola hidup 25 tahun vegetarian dan 7 tahun vegan, menuturkan, istrinya adalah pelaku vegetarian sejak kecil bahkan memulai vegetarian lebih muda dari usia Kartini saat memulai pantang makan daging. Nyatanya, kedua anaknya terlahir normal dan istrinya sehat hingga kini.

 

Maka, sejarah Kartini bervegetarian mestinya tetap tersimpan sebagai doa dan caranya untuk berdoa tanpa kata dengan Tuhannya. Ia seorang Muslim, yang mendeklarasikan diri sebagai anak Budha, dan banyak bergaul dengan orang Kristen. 

 

Wajar jika itu melahirkannya menjadi sosok yang terbuka, egaliter, dan penuh kasih. Dan vegetarian bagi Kartini merupakan wujud doa, tiga kali sehari untuk mengekang hawa nafsu dan mengembangkan hati yang peka berlandaskan kasih.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement