REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Noor Achmad, menyoroti keinginan pelajar salah satu sekolah menengah pertama (SMP) di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Pelajar berinisial SY (15) dan FA (14) meminta izin untuk menikah.
Meski akhirnya pernikahan remaja belasan tahun itu batal, Noor Achmad menganggap ada persoalan serius di balik keinginan mereka untuk menikah dini. Oleh karena itu, kata Noor Achmad, kasus ini patut mendapatkan perhatian.
Sebab, ia mengatakan, tidak menutup kemungkinan kasus ini hanya salah satu contoh kasusa. Bisa jadi banyak anak di bawah umur yang memiliki keinginan sama.
Bahkan, ia mengatakan, anak di bawah umur itu ingin menikah tidak hanya karena takut tidur sendirian seperti yang disampaikan SY dan FA. Akan tetapi, hal tersebut bisa juga karena alasan lain, terutama alasan biologis.
"Inilah yang saya anggap menjadi persoalan serius. Ada beberapa alasan mengapa hal ini menjadi persoalan serius dan perlu penyelesaian segera," ujar politikus Partai Golkar itu saat dihubungi melalui pesan singkat, Kamis (19/4).
Pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun l974 tentang Perkawinan memang mensyaratkan minimal umur 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki dan 16 bagi calon mempelai perempuan. Namun, UU itu tidak secara tegas menolak pernikahan di bawah usia tersebut.
Pasal 7 justru memperbolehkan ada dispensasi atas dasar putusan pengadilan agama Artinya, lanjut Noor Achmad, perkawinan di bawah umur bisa terjadi kalau mendapat izin dari Pengadilan Agama.
Bahkan, dia mengatakan, pasal ini dipertahankan karena agama tidak melarang pernikahan di bawah umur. "Sebab, memperpanjang usia pernikahan justru dikhawatirkan akan terjadi banyak perzinaan," katanya menambahkan.
Kedua, dia menerangkan, banyak pihak menginginkan agar ada revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan tersebut. Terutama syarat minimal umur menikah menjadi 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi perempuan.
Revisi juga untuk mempertegas hukuman pidana bagi yang melanggarnya. Para pihak yang mendukung revisi undang-undang tersebut beralasan, pernikahan di bawah umur banyak mafsadat atau dampak negatifnya.
Ketiga, sambung Noor Achmad, banyaknya fenomena perbuatan cabul, perkosaan, aborsi, dan kehamilan yang dialami oleh anak-anak di bawah umur. Kalau dianalisis, penyelesaian ketiga masalah di atas tentu saling bertentangan.
Namun yang patut mendapat perhatian dengan cepat adalah sistem pendidikannya. Noor Achmad melihat suasana akademik hanya dimiliki oleh sekolah-sekolah tertentu, terutama di perkotaan.
"Bagaimana kita menciptakan suasana akademik di setiap sekolahan sehingga masa-masa sekolah adalah masa yang menyenangkan untuk belajar dan tidak banyak dipengaruhi oleh suasana nonakademik," kata Noor Achmad.
Di sisi lain, dia mengatakan, salah satu mata pelajaran di sekolah perlu mengkaji secara tuntas tentang aspek positif dan negatifnya pernikahan di bawah umur. Tidak terkecuali dengan hubungan seks di bawah umur. Dengan harapan, anak-anak akan berpikir lebih dewasa lagi.
Usul Noor Achmad selanjutnya adalah suasana dalam kehidupan masyarkat juga perlu diciptakan yang lebih terbuka. Dengan demikian, fenomena-fenomena perselingkuhan akan dapat diminimalisasi.
Dia berpendapat masyarakat yang tertutup cenderung menciptakan pribadi-pribadi yang tertutup. Dampaknya, dia menyebutkan, penyalurannya pada hal negatif.
Namun, Noor Achmad menyampaikan, lebih baik apabila semua elemen berkepentingan bisa duduk bersama, terutama untuk membahas apakah perlu merevisi Undang-Undang Perkawinan.
"Lalu bagaimana menciptakan suasana kehidupan anak-anak untuk lebih mencintai kehidupan akademiknya dibandingkan lainnya," kata Noor Achmad
Dengan demikian, kata Noor Achmad, pemerintah harus segera menyelenggarakan program wajib belajar 12 tahun secara masif. Dia yakin jika wajib belajar 12 tahun diterapkan, akan menekan angka pernikahan di bawah umur secara signifikan.
"Apalagi kalau diikuti sebuah aturan bahwa pekerjaan-pekerjaan sektor formal harus lulus minimal SMA atau sederajat," ujarnya.