Kamis 19 Apr 2018 18:10 WIB

Cerita Risma Berhasil Menutup Gang Prostitusi Terbesar

Risma takut bila tidak ditutup anak-anak yang hidup di sana tidak bermasa depan.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Indira Rezkisari
Tri Rismaharini
Foto: Republika/Wihdan
Tri Rismaharini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar Gang Dolly? Tempat yang menjadi lokalisasi prostitusi terbesar di Asia Tenggara? Atau tempat bersejarah di Surabaya?

Pendapat Anda ada mungkin sama, kawasan prostitusi. Tempat pelacuran terbesar di Asia Tenggara ini terletak di permukiman Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, mengenang perjuangannya menutup sendiri kompleks pelacuran itu.

Risma menceritakan, Surabaya memang terkenal dengan lokalisasi prostitusi Dolly, tetapi sebenarnya kota Pahlawan ini sebenarnya memiliki enam lokalisasi serupa seperti di Dupak Bangunsari, Tambak Asri, Klakah Rejo, Sememi, Jarak, dan Dolly. Sebagai seorang ibu, perempuan ini ingin menutup tempat pemuas syahwat ini karena anak-anak yang tinggal di sekitar tempat itu jadi korban perdagangan manusia. Tak hanya itu, permasalahannya bukan hanya sekadar lokalisasi melainkan juga tempatnya menyatu dengan perumahan.

Akibatnya, anak-anak terbiasa melihat orang-orang sekitarnya berhubungan intim. Ia bahkan pernah mendapati seorang anak berusia 14 tahun jadi muncikari. Kemudian ada seorang anak Gang Dolly Surabaya yang kecanduan seks padahal usianya sangat belia 8 tahun karena terlalu sering melihat orang tuanya dan lingkungan sekitar melakukan perbuatan terlarang itu.

Anak-anak ini juga tampak kelelahan setiap ada di sekolah. Mereka tidak bisa beristirahat di malam hari karena dentuman musik memekakkan telinga.

"Dampak terbesar terjadi pada anak-anak. Sekali lagi saya tidak berbicara moral tapi ini berpengaruh ke anak-anak ini," katanya saat menjadi narasumber di Rapat Koordinasi Penanganan Prostitusi dan Supporting Penutupan Lokalisasi, di Jakarta, Kamis (19/4).

Mirisnya tak hanya anak, ia juga mendapati fakta bahwa wanita tuna susila yang menjajakan tubuhnya juga menjadi korban. Risma mendapati bahwa perempuan-perempuan inidiperdaya. Mereka diperbudak dengan seolah-olah dipinjami uang untuk bertahan hidup. Mereka didesain sedemikian rupa untuk tetap terus berutang dan harus mengembalikan pada muncikarinya. "Jadi, terjadi perbudakan manusia," ujarnya.

Risma kemudian membulatkan tekad ingin menutup kompleks prostitusi di wilayahnya selamanya. Akhirnya perempuan berhijab ini menggandeng tentara nasional Indonesia (TNI)/kepolisian, hingga Danrem untuk menutup tempat itu karena sempat terjadi penolakan.

Perlahan, satu persatu tempat prostitusi ditutup, wisma dibeli, dan puncaknya Dolly resmi ditutup pada 18 Juni 2014. Namun, penutupan prostitusi belum usai, Risma menceritakan rehabilitasi eks lokalisasi ini terus dilakukan. Mulai dari memberi pelatihan, uang biaya hidup, jaminan hidup sebesar Rp 7,5 juta untuk tiap pekerja seks komersial (PSK).

Ia juga menyebut mantan satpam atau preman Dolly ditawari beralih profesi menjadi linmas, atau sopir mobil ambulans, atau jenazah. Kemudian anak-anak yang tinggal di eks lokalisasi bisa langsung masuk sekolah negeri tanpa seleksi apapun.

"Kemudian saya juga buatkan sentra pedagang kaki lima (PKLL) hingga taman di bekas lokalisasi dan diajari membatik oleh perusahaan hingga sukarelawan. Warga eks-Dolly kemudian membuat sandal hotel, batik, tempe, telur asin, sepatu, hingga sablon," katanya.

Perlahan tapi pasti menjelang empat tahun pascaditutupnya Dolly, semua warga eks-Dolly mulai dari muncikari maupun pekerja seks telah berdiri di atas kaki sendiri secara ekonomi. Bahkan, Risma menyebut omzet yang diperoleh warga yang menjalani bisnis sablon tersebut bisa melebihi Rp 1 miliar.

Keberhasilannya ini tidak membuat ia tinggi hati. Ia menyebut kepala daerah yang wilayahnya masih ada 43 lokalisasi yang tersebar di Indonesia ini bisa melakukan hal serupa. Namun, Risma mensyaratkan pemerintah daerah ini harus memiliki data yang lengkap. Mulai jumlah warga, hingga penderita HIV/AIDS.

"Setelah itu perlakuan (warga eks-lokalisasi) berbeda-beda. Nah, kalau perlakuan bagus, oke dan mau usaha akan diberikan pilihan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement