REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta kaum milineal menggunakan hak pilihnya dengan baik dalam pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Suara yang diberikan kaum muda pada pilkada dan pemilu berperan besar dalam menentukan kemajuan bangsa.
"Pemuda zaman now jangan sampai golput. Kaum muda harus bangkit dan berani bersuara untuk memilih pemimpin yang terbaik untuk kemajuan bangsa," ujar Bamsoet dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (18/4).
Bamsoet menjelaskan, pada Pemilu 2019 mendatang ada sekitar 14 juta pemilih muda yang memiliki hak pilih untuk pertama kalinya. Jumlah tersebut sekitar 7,4 persen dari total pemilih sebesar 196,5 juta jiwa.
Jumlah pemilih kaum milenial ini sangat besar. Para pemuda harus terlibat aktif dalam pesta demokrasi di Indonesia. Jangan sampai suara yang besar itu terbuang percuma.
Politikus Partai Golkar ini meminta BEM mahasiswa se-Indonesia untuk membuat kajian terhadap pelaksaan pilkada langsung. Kajian tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah pilkada langsung lebih banyak memberikan manfaat atau mudarat bagi masyarakat Indonesia.
"Kalau memang hasil kajian menyatakan pilkada langsung lebih banyak membawa mudarat, kenapa tidak kita kembalikan ke sistem pilkada melalui DPRD? Kita tak boleh takut dan malu untuk memperbaiki sistem yang ada," tutur Bamsoet.
Bamsoet mengaku galau melihat pilkada langsung yang penuh dengan politik transaksional. Diperlukan biaya yang sangat besar bagi seorang calon untuk bisa maju dan berlaga dalam pilkada.
"Untuk bisa diusung oleh partai politik dalam pilkada saja, ada yang sampai mengeluarkan uang puluhan miliar. Belum lagi, nanti saat pemilihan harus membagi-bagikan uang ke masyarakat dalam jumlah yang tidak sedikit. Makanya, ada anekdot dalam pilkada, nomer piro wani piro," kata Bamsoet.
Akibatnya, lanjut mantan ketua Komisi III DPR RI ini, tidak sedikit kepala daerah yang terkena OTT KPK. Sebab, ketika sudah menjabat, kepala daerah tersebut akan berusaha untuk mendapatkan kembali uang yang telah dikeluarkan selama pilkada.
Kemudian, banyak kepala daerah yang tertangkap KPK karena bermain proyek agar uang yang dikeluarkan selama pilkada bisa kembali. Yang ada di pikirannya hanya proyek, proyek, dan proyek.
Selain itu, tak jarang kebijakan yang dibuat juga lebih mementingkan serta menguntungkan para pengusaha yang menjadi sponsor selama pilkada. "Sistem demokrasi seperti ini tentu tidak bisa kita biarkan terus berlarut," kata Bamsoet.