Selasa 17 Apr 2018 20:00 WIB

Pemkot Surabaya Naikkan Pajak Bumi dan Bangunan

Kenaikan PBB dipicu pertumbuhan investasi dan transaksi jual beli di Surabaya.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Nur Aini
Pajak (Ilustrasi)
Foto: firstpost.com
Pajak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pemerintah Kota Surabaya memastikan kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB). Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) Surabaya Yusron Sumartono memgatakam, kenaikan PBB tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Hal itu terutama karena perkembangan, pertumbuhan, dan investasi, serta transaksi jual beli di Kota Surabaya yang semakin naik. 

Yusron memjelaskan, Pemkot Surabaya sudah membangun berbagai macam infrastruktur seperti saluran dan jalan-jalan. Begitu pun pengembang yang juga banyak membuka perumahan-perumahan di berbagai wilayah di Kota Surabaya.

"Hal ini lah yang menimbulkan nilai jual rumah, tanah dan bangunan bergerak naik terus setiap tahunnya," kata Yusron di Surabaya, Selasa (17/4).

    

Menurut Yusron, karena nilai jual rumah, tanah dan bangunan naik, maka nilai jual objek pajak (NJOP) per meternya juga naik. Hal itu sudah diatur dalam Peraturan Wali Kota Surabaya no 73 tahun 2010 tentang klasifikasi dan penetapan nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan di Kota Surabaya. NJOP tersebut dihitung dari adanya pertumbuhan dan perkembangan kawasan di wilayah Kota Surabaya.

"Sehingga apabila kawasan itu semakin tumbuh dan berkembang, maka objek pajak akan naik level dan otomatis nilai besaran NJOP nya juga semakin naik," ujar Yusron.

Setelah itu, kata Yusron, sesuai Perda Nomor 10 tahun 2010, tarif PBB ada dua macam yaitu 0,1 persen khusus untuk NJOP yang nilainya kurang dari Rp 1 miliar, dan 0,2 perses khusus untuk NJOP yang nilainya lebih dari Rp 1 miliar. Sedangkan nilai PBB itu berasal dari NJOP dikalikan dengan tarif PBB yang sudah ditetapkan di dalam Perda. Karena NJOP naik, maka berpengaruh pada nilai PBB.

Ia mencontohkan, jika nilai total NJOP nya sebesar Rp 900 juta, maka nilai tersebut dikalikan dengan tarif PBB, yaitu 0,1 persen, dan hasilnya Rp 900 ribu. Namun, karena kawasan di objek pajak itu semakin tumbuh dan berkembang, maka NJOP nya juga naik level hingga mencapai Rp 1 miliar, sehingga tarif PBB mencapai 0,2 persen.

"Jika dikalikan, hasilnya Rp 2 juta. Di sini, ada kenaikan yang signifikan hingga Rp 1,1 juta, karena memang objek pajak itu sudah masuk ke tarif PBB 0,2 persen," ujar Yusron.

Yusron menduga, kenaikan dua kali lipat itulah yang menyebabkan banyak masyarakat mengeluh terhadap nilai PBB yang harus dibayarkan. Padahal, selama ini penetapan nilai PBB disebut sudah di bawah harga pasar.

"Terbukti, jika dilihat di Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), tidak sama dengan harga pasaran. Hal ini lah yang perlu dipahami oleh semua pihak. Apalagi, tarif PBB 0,1 persen dan 0,2 persen itu sudah diterapkan sejak 2010 atau sejak Perda itu diketok," kata Yusron.

Yusron juga memastikan, Pemkot Surabaya tidak serta merta menaikkan nilai PBB. Namun hal itu dipengaruhi oleh perkembangan, pertumbuhan dan transaksi di Surabaya yang semakin naik. Bahkan, ia memastikan bahwa semua yang dilakukannya sudah sesuai peraturan yang ada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement