REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Labuhan Merapi baru saja diselenggarakan. Prosesinya telah dilaksanakan Senin (16/4) lalu, dengan mengarak gunungan dan ubo rampe dari Kantor Kecamatan Cangkringan menuju Petilasan Rumah Mbah Maridjan.
Setelah diarak, gunungan dan ubo rampe itu secara seremonial diserahkan oleh Camat Cangkringan dan diterima Juru Kunci Merapi. Kegiatan itu diakhiri dengan berebut isi gunungan yang terdiri dari macam-macam hasil bumi.
Labuhan Merapi dilanjutkan Selasa (17/4) menuju ke atas Gunung Merapi dengan membawa ubo rampe. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kegiatan Labuhan Merapi akan ditutup dengan pembagian nasi berkat kepada masyarakat.
Juru Kunci Gunung Merapi, Mas Asih atau Mas Lurah Kliwon Suraksohargo mengatkan, upacara adat itu merupakan wujud rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia melihat, tradisi itu bertujuan memohon perlindungan dan keselamatan untuk warga.
Untuk itu, ia berharap, tradisi Labuhan Merapi itu dapat dilestarikan di tengah tantangan modernisasi. Terlebih, bagi generasi muda harus bisa melestarikan dan mengembangkan tradisi budaya tersebut.
"Harapannya, para kawula muda bisa tahu tentang budaya dan bisa mempelajarai tentang budaya. Semoga budaya ini bisa berkembang dengan baik, sehingga masyarakat itu paham tentang budaya," kata Mas Asih di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Labuhan Merapi sendiri dilaksanakan Keraton Ngayogyakarta untuk memperingati Jumenengan Ndalem Sri Sultan Hamengku Buwono X. Labuhan Merapi ini rutin digelar setiap tahun pada 30 Rajab atau Rejeb Kalender Jawa.
Bupati Sleman, Sri Purnomo menilai, upacara Labuhan merapi merupakan bentuk rasa syukur dan doa bagi keselamatan Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Terutama, untuk senantiasa mengayomi dan memimpin rakyatnya dengan penuh cinta. "Sebuah kedekatan antara masyarakat dengan rajanya yang dimaknai dengan masih adanya kepercayaan, penghargaan dan penghormatan kepada rajanya," ujar Sri.