Selasa 17 Apr 2018 00:35 WIB

Rocky Gerung dan Fiksi yang Mendedah

Keimanan mengantarkan tiap Muslim memiliki entitas meyakini meski tak pernah melihat.

Ady Amar
Foto: dok. Pribadi
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar *)

Pernyataan Bung Rocky Gerung tentang Kitab Suci itu Fiksi, menyulut sebagian orang memperbincangkannya. Memperbincangkan sesuatu yang selama ini luput dari pengamatan umat beragama. Rocky Gerung bicara tentang kitab suci tertentu, entah kitab suci apa yang dirujuknya yang dimaknai fiksi itu.

Ustaz Adi Hidayat amat bijak dalam merespons Rocky Gerung itu. Katanya, apa agama yang dianutnya, bukan Muslim kan? Artinya bahwa dia tidak sedang memperolok-olok kitab suci umat Islam, Alquran. Mestinya, kita tidak perlu baper meresponsnya dengan berlebihan.

Kenapa pernyataan Bung Rocky Gerung tentang fiksi menjadi dibicarakan sepekan ini, dengan tensi yang coba ditegang-tegangkan? Bisa jadi karena dia tampil meluruskan makna fiksi yang sebenarnya. Dan itu tampak membela pendapat Prabowo yang mengutip Novel Fiksi: Ghost Fleet, tentang Indonesia bubar tahun 2030.

Karena yang dikutip Prabowo sebuah novel fiksi, orang awam pun menyamakannya dengan fiktif, maka Prabowo menjadi bulan-bulanan media mainstream. Mengutip kok novel fiksi, itu inti yang dikembangkan para politisi kubu seberang, dan bahkan pengamat yang juga berperan sebagai konsultan politik (bedanya apa dengan makelar politik?). Mengolok-olok yang intinya itu hanyalah bualan politik tanpa dasar.

Maka, kehadiran Bung Rocky Gerung di ILC tvOne, seperti mengajarkan sebuah pemahaman baru pada publik tentang makna fiksi dan fiktif yang sebenarnya. Dia mencoba menarik makna fiksi yang disalahpahami itu ke tengah, meluruskan pemahaman yang selama ini bengkok, sengaja dibengkokkan untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu vis a vis melawan akal sehat.

Pelajaran yang diberikan Bung Rocky Gerung malam itu, berkenaan dengan fiksi itu, memang tampak terlalu melebar, dan harus disasarkan pada kitab suci, yang menurutnya fiksi. Maka Bung Akbar Faisal (Politisi Nasdem), Dwi Ria Latifa, dan Aria Bima (Politisi PDIP) merasa tersengat saat kitab suci dianggap fiksi. Akbar Faisal yang tampak paling marah, mungkin sebagai seorang Muslim dia terpanggil melihat “kitab sucinya” diperlakukan tidak sewajarnya.

Padahal, Bung Rocky Gerung tidak menyebut kitab suci tertentu, kenapa para politisi itu justru menyoalkannya. Saat Gubernur DKI Jaya Ahok “memperolok”, “Jangan mau dibohongi pakai al-Ma’idah: 51,” sehingga umat Islam bergerak membela kitab sucinya dengan begitu dahsyat, di mana suara Akbar Faisal dan politisi PDIP saat itu? Tak terdengar suaranya. Karenanya, boleh disimpulkan mereka cuma politisi yang tidak mungkin bisa bicara sesuai nuraninya, jika yang sebenarnya itu tidak sama dengan kebijakan partainya.

Panggung ILC itu memang terkadang menjadi arena para politisi mempertontonkan kepintarannya yang saling berhadap-hadapan, membela kubu masing-masing. Acap kita disuguhi perdebatan norak khas preman jalanan. Dengan gaya ngotot melotot-lotot dia mengira akan disebut hebat, karena mampu menafikan nalar sehat dan kecerdasan publik.

Diskusi kelas terbatas

Satu pelajaran berharga buat Bung Rocky Gerung, tidak semua diskusi bisa diikuti oleh masyarakat luas dengan pemahaman terbatas, khususnya pada kajian filsafat, dialog antariman, atau bahkan dialog antara humanis/ateis dengan kaum agamawan. Jika tidak, yang terjadi adalah tafsir yang salah atas tesis tertentu yang tidak biasa, dan itu berbahaya. Dituntut arif jika menyampaikan gagasan-gagasan sekalipun cerdas, haruslah di kelas yang tepat, dan tentu dengan audiens yang berpemahaman setara. Dengan demikian tidak disalahpahami, bahkan digoreng menuju reaksi umat yang tidak diinginkan.

Kaum agamawan (Islam) masa lalu terkadang mendapatkan “bisikan” pada nalarnya, dan karenanya muncul pemikiran-pemikiran tidak biasa yang bertolak belakang dengan pemikiran mainstream yang ada, maka pikiran tidak biasa itu disimpannya rapi-rapi dalam kesadarannya. Tidak disebarkan, karena akan menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan, dan tentu lebih dari itu agar umat tidak tercabik-cabik dalam perdebatan yang tidak pasti. Terkadang kita mesti berhenti pada hal-hal tertentu, meski akal pikir memberontak untuk bersikap.

Kata “fiksi” dalam terminologi manusia tidaklah berlaku dalam konsep keimanan (Islam). Tidak bisa dipersamakan, meski tampak secara nalar itu benar. Semuanya berhenti ketika acuan sudah ditetapkan. Maka, perdebatan apa pun tentang konsep kebenaran, apalagi pernyataan tentang kitab suci itu fiksi, berhenti dengan sendirinya, dikalahkan oleh keimanan.

Bung Rocky Gerung mengajarkan hakikat kebenaran akan makna fiksi itu dengan pendekatan filsafat, itu baik-baik saja, dan tentu memberikan pemahaman bahwa tidak perlu bersikap sinis terhadap karya fiksi. Fiksi tidak sekadar dimaknai karya yang “tidak ilmiah”, tapi makna yang jauh lebih dari itu, yakni membebaskan akal pikiran untuk menemukan kebenaran di balik karya fiksi itu.

Tuhan mengajarkan untuk berpikir bahwa semua yang terjadi adalah disebabkan oleh benda-benda yang bersifat materi padat, dan itu terpatri di otak kita. Materi itu kita yakini ada, karena materi itu pernah kita lihat. Namun, Tuhan juga mengajarkan pada kita lewat keimanan, bahwa ada kehidupan setelah kematian, yaitu pertanggungjawaban kemanusiaan atas prestasi-prestasi yang dibuatnya. Itu dikisahkan dalam kitab suci-Nya, Alquran. Keimanan itulah yang mengantarkan setiap Muslim memiliki entitas meyakini meski tidak pernah melihatnya.

Bagi Muslim, ini bukanlah sebuah spekulasi bersifat filosofis, yang digambarkan Bung Rocky Gerung itu sebagai fiksi yang bersifat positif. Dan, Humanis/Ateis, tentu tidak akan mempercayai materi yang tidak dilihatnya. Sebagaimana Tuhan yang tak tampak dinafikan keberadaannya.

Sebuah buku menarik, berjudul Towards of Spiritual Humanism: A Muslim-Humanist Dialogue, mengajarkan kita memahami bahwa persoalan manusia dan kemanusiaan bukanlah isu yang sederhana. Inilah buku dialog antara Muslim dan Humanis/Ateis,  yang diwakili Prof Hasan Askari dan John Avery PhD. Buku yang dihasilkan dari dialog keduanya di Iliff School of Theology, Denver-Colorado, AS. Dialog konstruktif dan berkelas, yang sebenarnya saling “bertentangan” argumen, baik ontologis, kosmologis dan teologis tentang eksistensi Tuhan...

Namun mereka bisa duduk bersama menghormati pandangan masing-masing, tanpa harus eyel-eyelan, menganggap pendapatnya yang benar. Dialog menjadi cair meski masing-masing pihak berada dalam kutub yang berbeda. Dialog itu menjadi “sophia perennis” (filsafat perennial) keduanya.

Dialog dalam kelas-kelas terbatas tidak akan menimbulkan protes dari mereka yang tidak memahami bahwa perbedaan akan bisa sampai pada tahap sama-sama memahami, bahwa humanis dan teis akan bisa sampai pada tujuan pemahaman masing-masing pihak, dan dari pemahaman itu akan muncul kesadaran bahwa tidak selamanya dialog membawa kesepakatan. Mencapai kesepahaman sudahlah cukup untuk saling menghormati satu dengan yang lain...

*Pemerhati masalah sosial

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement