Rabu 11 Apr 2018 13:24 WIB

'Hakim tak Punya Kewenangan Perintahkan Boediono Tersangka'

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinilai melebihi kewenangan praperadilan.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menjadi pembicara pada diskusi yang diprakarsai oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Minggu (30/7).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menjadi pembicara pada diskusi yang diprakarsai oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Minggu (30/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menuturkan, praperadilan tidak mempunyai wewenang memerintah untuk menerapkan tersangka terhadap seseorang. Karena itu, menurut dia, adanya putusan yang memerintahkan mantan gubernur Bank Indonesia Boediono dijadikan tersangka itu melebihi kewenangan praperadilan.

"Putusan praperadilan yang memerintahkan agar Boediono ditetapkan sebagai tersangka jelas telah melebihi kewenangan praperadilan," tutur dia kepada Republika.co.id, Rabu (11/4).

Fickar menjelaskan, kompetensi praperadilan adalah soal keabsahan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut. Selain itu, kompetensi tersebut juga menyatakan penghentian penyidikan itu tidak sah serta memutus ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana pasal 77 sampai 83 KUHAP, dan menyatakan penetapan tersangka tidak sah sebagaimana putusan MK tentang praperadilan.

"Upaya paksa itu menangkap, menahan, menggeledah, dan menyita serta menyatakan seseorang sebagai tersangka. Selain kewenangan tersebut maka praperadilan tidak berwenang memutuskan termasuk memerintahkan menetapkan seseorang sebagai tersangka, dalam hal ini menetapkan Budiono sebagai tersangka," katanya.

Fickar mengakui, memang tidak ada upaya hukum lagi terhadap putusan praperadilan. Namun, putusan yang melebihi kewenangan itu tidaklah mengikat dan tidak wajib untuk diikuti. Bahkan, menurut Fickar, bisa diajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan itu.

Sementara itu, terhadap putusan soal penghentian perkara tidak sah dan memerintahkan membuka perkara kembali, papar Fickar, KPK wajib melaksanakannya. "Meski KPK lembaga independen, tetap harus tunduk pada putusan pengadilan sepanjang peradilan yang mengeluarkan putusan itu mempunyai kewenangan untuk memutusnya," ujarnya.

Dalam putusan yang dibacakan pada Selasa (10/4), Hakim Tunggal Effendy Muchtar memerintahkan KPK untuk tetap melanjutkan kasus dugaan tindak pidana korupsi Bank Century sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Hakim Effeny juga memerintahkan KPK untuk menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dan kawan-kawan berdasarkan surat dakwaan atas nama Budi Mulya, atau melimpahkannya kepada kepolisian atau kejaksaan untuk dilanjutkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.

Sebelumnya, pada Juli 2014, mantan deputi gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider lims bulan kurungan. Budi dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement