Selasa 10 Apr 2018 07:39 WIB

Hanya Sebuah Tagar, tak Perlu Dianggap Makar

Jokowi juga menanggapi tagar #GantiPresiden2019 dengan santai dan elegan.

Presiden Jokowi . (ilustrasi)
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Presiden Jokowi . (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Bayu Hermawan

Jelang ajang pemilihan presiden tahun 2019 mendatang, ranah media sosial makin panas. Dikotomi warganet pendukung Jokowi dan bukan pendukung Jokowi kembali rajin mengungah sikap mereka. Salah satu yang kini tengah menyita perhatian adalah tagar #GantiPresiden2019.

Setelah muncul di ranah media sosial seperti Whatsapp, Twitter, hingga Facebook, tagar #GantiPresiden2019 juga menjamah ke bidang lain. Bahkan, di media sosial ada yang memanfaatkan tagar ini untuk meraup keuntungan dengan menjual kaus bertuliskan hal yang sama. Entah siapa yang mulai memviralkan tagar ini. Namun, berita kemunculan tagar #GantiPresiden2019 pertama kali keluar dari Ketua Fans Jokowi Maryanto Suhardianto.

Sebelumnya, Maryanto menuding Neno Warisman, artis era tahun 1980-an, menjadi admin grup Whatsapp (WAG) 'Ganti Presiden 2019'. Maryanto juga menuding adanya indikasi gerakan makar dalam WAG tersebut. Polri dituntut teliti dan objektif menyikapi munculnya fenomena di medsos jelang pilpres, seperti tagar diatas.

Polri perlu melakukan penyelidikan yang sangat mendalam dan hati-hati, sebelum memutuskan apakah bisa hal ini dibawa ke ranah hukum. Sebab, jika dilihat, tidak ada pelanggaran hukum dalam hal tersebut. Tagar #GantiPresiden2019 baru bisa dibawa ke ranah hukum jika memang diikuti fitnah atau kata-kata yang sifatnya menghina pemerintahan Joko Widodo.

Selama tidak ada hal tersebut, rasanya tagar itu tidak bisa dibawa ke ranah hukum. Terkait tudingan adanya makar, yang perlu diperhatikan adalah kata-kata dalam tagar tersebut. Bukankah tagar tersebut berbunyi "Ganti Presiden 2019"? Rasanya tidak ada indikasi makar di sana sebab tagar tersebut, jika diartikan sebuah ajakan, ajakannya untuk tahun 2019, bukan sekarang.

Tidak ada salahnya sebab 2019 bertepatan dengan pemilihan presiden. Karena itu, tidak bisa dibilang makar jika ajakan tersebut dimaksudkan untuk pesta demokrasi yang diatur oleh undang-undang. Lain hal jika tagar tersebut muncul pada tahun 2016, 2017, atau 2018. Bisa jadi ada maksud makar di sana. Justru yang harus diwaspadai munculnya tagar "ayo kita jadi Golput". Nah, ini yang lebih berbahaya.

Hal lain, tagar tersebut bisa juga dilihat sebagai sebuah sikap. Tentu siapa pun tidak bisa memaksakan hak politik seseorang. Saya percaya, saat ini, meski pilpres belum dimulai, sudah ada warga negara yang mempunyai pilihan untuk 2019 mendatang. Pilihan tersebut bukan mengharuskan atau mewajibkan seluruh warga negara untuk memilih kembali Jokowi, sebagai capres pejawat.

Selain itu, satu tagar atau lebih, tidak mungkin menganggu kinerja pemerintah. Saya yakin, program pemerintah, seperti bagi-bagi sertifikat tanah, akan tetap banyak didukung oleh masyarakat tanpa pengaruh tagar tersebut. Saya percaya masyarakat akan tersenyum semringah menerima sertifikat tanah gratis dari Presiden Jokowi, tanpa peduli apa pun tagar yang beredar di medsos.

Jika ada yang berpikir tagar ini akan membuat kegaduhan, saya rasa, orang pertama yang akan membuat kegaduhan adalah orang yang menilai hal tersebut bisa membuat kegaduhan. Mengapa? Toh Jokowi saja yang kini menjadi presiden, menanggapi dengan santai munculnya tagar tersebut.

Jokowi dengan elegan menilai tagar ini adalah sesuatu yang biasa muncul dalam hal politik. Simak saja jawaban Jokowi saat bertemu dengan sukarelawan di Kota Bogor, 7 April lalu. "Sekarang isunya ganti lagi, isu kaos. #2019GantiPresiden di kaos. Masa kaos bisa sampai ganti presiden," ucap Jokowi sambil bercanda.

Jawaban Jokowi jangan lantas dinilai sebagai indikasi tagar tersebut harus diproses hukum. Jika kita perhatikan, dalam setiap kunjungan kerjanya beberapa waktu terakhir, Jokowi memang banyak menepis dan meluruskan isu-isu yang menyerang dirinya. Mulai dari PKI, aseng, dan negara bubar, hal itu kerap diselipkan dalam pidato-pidato Jokowi dalam kunjungan kerjanya.

Bagi saya, hal itu wajar. Sebab, di samping kinerja yang akan menjadi acuan bagi rakyat memilih kembali dirinya, Jokowi perlu tegas menjawab isu-isu tersebut. Karena isu-isu tersebut juga bisa memengaruhi rakyat dalam memilih. Menurut saya, apa yang yang dilakukan Jokowi sudah tepat. Menjawab isu-isu dengan santai, tetapi tegas, tanpa harus diikuti kata usut, tangkap, atau kata ancaman lain yang menunjukkan sifat otoriter.

Yang perlu dijaga agar kondisi tidak gaduh menjelang pilpres adalah sikap para pendukung Jokowi sendiri. Pendukung sebisa mungkin harus mengikuti sikap Jokowi yang tenang dalam menyikapi isu-isu yang muncul jelang pilpres. Jika harus membalas, membalaslah dengan santun tanpa perlu menuding-nuding. Tunjukkan kepada masyarakat data-data keberhasilan pemerintahan Jokowi tanpa merendahkan lawan-lawan politiknya.

Kemudian, selalu ingat apa yang disampaikan Jokowi, hanya Tuhan dan rakyatlah yang mampu mengganti presiden dalam pemilihan presiden 2019. "Juga ada kehendak dari Allah SWT. Masa pakai kaos itu bisa ganti presiden, enggak bisa." Jadi, mulai dari sekarang, mungkin pihak-pihak yang ingin Jokowi menjadi presiden kembali bisa membuat dan memviralkan tagar tandingan, atau kalau perlu mencetak kaus tanda dukungan yang banyak, dan dibagikan secara gratis, asal tidak melanggar aturan pemilu, ya.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement