Sabtu 07 Apr 2018 16:43 WIB

Miras Oplosan, RUU Minol, dan Perlawanan Kaum Marjinal

Banyak hal yang menyebabkan munculnya kasus miras opolosan ini.

Barang bukti miras oplosan yang diduga menyebabkan tujuh pemuda tewas seusai pesta miras oplosan. Kamis (4/5).
Foto: Republika/Fergi Nadira
Barang bukti miras oplosan yang diduga menyebabkan tujuh pemuda tewas seusai pesta miras oplosan. Kamis (4/5).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Amri Amrullah, Andrian Saputra

Di Jabodetabek korban minuman keras oplosan seperti tidak pernah ada habisnya. Dalam sepekan terakhir, setidaknya 28 nyawa melayang akibat menenggak miras oplosan di wilayah hukum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) terus berjatuhan.

Sepuluh orang tewas di Jakarta Timur, delapan orang di Jakarta Selatan, empat orang di Depok, dan dua orang di Kota Bekasi. Plus ada dua korban meninggal lainnya. Mereka diketahui membeli dan menenggak miras beralkohol sejak Sabtu (31/3) hingga Ahad (1/4).

Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Indra Jafar dan Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Pol Tony Surya Putra menyampaikan keterangan pers bersama perihal perkembangan kasus di wilayah hukum masing-masing di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (4/4).

Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) menilai lambannya pengesahan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) telah menghadirkan korban jiwa akibat minuman keras hasil mengoplos (miras oplosan). Oleh karena itu, DPR dan pemerintah didesak merampungkan RUU tersebut menjadi UU.

Ketua Genam Fahira Idris menilai bahaya miras, apalagi miras oplosan, setara dengan narkoba. Namun, ironisnya, sampai dengan sekarang tidak ada UU yang melarang minuman haram tersebut. "Kepada ketua DPR dan Presiden tolonglah instruksikan agar RUU ini segera dirampungkan. Sudah bertahun-tahun RUU ini molor disahkan. Bayangkan, RUU ini oleh DPR sedianya ditargetkan rampung Juni 2016, tapi sampai sekarang tidak jelas," kata Fahira di Kota Yogyakarta, DIY, kemarin.

Menurut dia, masalah besar berupa miras tidak hanya diatur lewat peraturan menteri. Peraturan setingkat UU dibutuhkan untuk mengatasi berbagai persoalan terkait miras, mulai dari sisi produksi, peredaran, hingga konsumsi miras yang begitu kompleks. "Mohon maaf, negeri ini tidak punya skala prioritas menyelesaikan masalah di masyarakat," ujar Fahira.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement