Kamis 05 Apr 2018 04:00 WIB

Polemik Tarif Taksi Online dan Keamanan yang Digadaikan

Masalah keamanan dalam menggunakan transportasi daring menjadi sorotan

Nidia Zuraya, wartawan Republika
Foto: Dok. Pribadi
Nidia Zuraya, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nidia Zuraya

Sebuah survei yang dilakukan oleh platform penyedia layanan e-commerce baru-baru ini memperlihatkan bahwa sebesar 90 persen pelanggan membandingkan harga sebelum memesan ojek atau taksi online (daring). Survei itu dilakukan secara daring dengan lebih dari 1.000 responden di sembilan kota besar di Indonesia, yakni Jabodetabek, Bandung, Medan, Surabaya dan Makassar.

Hasil survei tersebut juga menunjukkan 40,9 persen responden menggunakan ojek atau taksi daring sebanyak 2-5 kali dalam sepekan. Sementara 33,7 persen responden menggunakan moda transportasi online ini sebanyak satu kali dan 15,9 persen sebanyak 5-10 kali dalam sepekan.

Saat ini ojek dan taksi daring dinilai sebagai alternatif transportasi yang bisa diakses dengan mudah dan cepat oleh para konsumen. Selain itu, dibandingkan dengan moda transportasi sejenis yang masih menerapkan sistem pemesanan secara konvensional, harganya juga murah.

 

Kehadiran taksi dan ojek daring di Indonesia sejak 2014 hingga saat ini bukan tanpa persoalan. Berbagai penolakan dari sejumlah pihak mewarnai perjalanan bisnis moda transportasi daring di tanah air.

Tak hanya penolakan terhadap kehadirannya, persoalan juga timbul dari para pengemudi yang merasa tidak puas dengan sistem bagi hasil antara perusahaan operator dengan pengemudi sebagai mitra perusahaan. Puncak ketidakpuasan ojek daring terjadi pada 27 Maret lalu. Saat itu, ribuan pengemudi ojek daring kembali menggelar demo di depan Istana Negara, Jakarta.         

Kali ini , Presiden Joko Widodo (Jokowi) menemui perwakilan ojek daring. Presiden pun langsung memerintahkan Menhub Budi Karya Sumadi dan Menkominfo Rudiantara untuk mengumpulkan perusahaan aplikasi pelayanan angkutan online atau aplikator, termasuk perwakilan pengemudi ojek daring, guna membicarakan masalah skema tarif yang dikeluhkan oleh para pengemudi ojek daring itu.

Persoalan tarif pada taksi daring berhasil diselesaikan dengan diberlakukannya batas bawah dan atas tarif taksi daring yang berlaku efeltif per 1 Juli 2017. Aturan batas bawah dan atas tarif taksi online disesuaikan mengacu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017.

Dengan ketentuan tersebut, tarif taksi daring kini hampir sama dengan yang konvensional. Tarif taksi daring kini didasarkan pada dua zona wilayah.

Wilayah pertama terdiri Pulau Sumatera, Bali dan Jawa dengan tarif bawahnya sebesar Rp 3.500 per kilometer, sementara tarif batas atasnya Rp 6.000. Sedangkan wilayah dua yakni Pulau Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi dan Papua tarif batas bawah sebesar Rp 3.700 dan batas atas Rp 6.500.

Tarif perjalanan taksi konvensional, buka pintu sebesar Rp 6.500 dan tarif per kilometernya Rp 4.100 per kilometer untuk Blue Bird, dan Express Rp 3.800 per kilometer. Sementara Go-Car menetapkan tarif sesuai batas bawah yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 3.500 per kilometer dan GrabCar Rp 4.000 per kilometer. 

Bedanya, pada jam sibuk, Go-Car menerapkan tarif yang lebih tinggi, yakni Rp 4.250 per kilometer. Sementara, tarif Grab akan ditentukan sesuai kondisi kemacetan, jumlah permintaan dan armada yang tersedia hingga cuaca di suatu wilayah.

Jika persoalan tarif taksi daring berhasil diselesaikan, maka tidak dengan ojek daring. Hingga kini belum ada kata sepakat antara pengemudi dan perusahaan operator.

Pihak Grab Indonesia, misalnya, mengatakan siap melakukan komunikasi secara terbuka dengan para pengendara ojek daring yang menjadi mitra mereka. Meski demikian, menurut manajemen Grab Indonesia, untuk mensejahterakan pengendara ojek daring bukan hanya faktor tarif. Dua unsur lain yang harus diperhatikan adalah penumpang dan juga perusahaan operator.

Pemerintah mengusulkan besaran bagi hasil (pendapatan) untuk pengemudi ojek daring dinaikkan menjadi Rp 2.000 per km. Saat ini, pengemudi hanya menerima Rp 1.600 per km.

Namun, usulan tersebut ditolak oleh para pengemudi. Mereka meminta agar pengedara ojek daring kebagian jatah mencapai Rp 3.250-4.000 per km.

 

Faktor keamanan semakin buruk

Terlepas dari polemik tarif ini, ada satu persoalan penting yang harus mendapat perhatian serius dari aplikator dan pengemudi transportasi daring, yakni masalah keamanan penumpang. Akhir-akhir ini masalah keamanan dalam menggunakan transportasi daring menjadi sorotan, terlebih karena ada sejumlah kasus kriminal yang dilakukan oleh oknum pengemudi.

Faktor keamanan menjadi salah satu alasan saya saat pertama kali memutuskan untuk menggunakan jasa transportasi daring pada 2016 silam. Namun seiring dengan berkembangnya bisnis transportasi daring di tanah air dan makin menjamurnya jumlah armada ojek maupun taksi daring, faktor keamanan menjadi tidak dipedulikan.

Korban kejahatan yang dilakukan oleh oknum pengemudi ojek maupun taksi daring umumnya adalah kaum perempuan. Satu tahun terakhir sudah ada empat kasus kejahatan saat bertransportasi daring dengan korban penumpang perempuan.

Pada September 2017 lalu, seorang SPG dilaporkan menjadi korban pembunuhan pengemudi ojek online. Kemudian pada 17 Januari 2018, seorang karyawati bank dirampok oleh sopir taksi daring yang ia tumpangi.

Kasus selanjutnya adalah perbuatan tidak senonoh pengemudi taksi daring kepada penumpang perempuan pada 12 Februari 2018 dalam perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta. Korban terakhir kejahatan yang dilakukan pengemudi transportasi daring adalah Yun Siska Rohani. Ia dibunuh oleh pengemudi taksi daring yang ditumpanginya saat pulang kerja pada pertengahan Maret 2018.

Perkembangan pesat bisnis transportasi daring di Indonesia tidak terlepas dari peran para pengguna jasa transportasi publik. Buruknya sistem transportasi massal di negeri ini, termasuk juga faktor keamanan, membuat para pengguna transportasi publik ini mulai melirik jasa transportasi daring di awal kehadirannya di Indonesia.

Namun dengan makin banyaknya kasus kejahatan yang dilakukan oleh pengemudi ojek maupun taksi daring kepada penumpangnya, tidak menutup kemungkinan moda transportasi ini secara perlahan akan ditinggalkan oleh konsumen setianya. Terlebih lagi saat ini pemerintah mulai membenahi sistem transportasi massal.

Jika pengemudi hanya sibuk mempersoalkan besaran tarif, sementara perusahaan aplikator hanya memikirkan keuntungan bisnis semata, maka siap-siap saja konsumen loyal kalian akan beralih menggunakan moda transportasi massal seperti kereta mass rapid transit (MRT) dan kereta layang ringan atau light rail transit (LRT). Karena bagaimanapun hak untuk memilih ada di tangan konsumen.

*) Penulis adalah Redaktur Republika Online

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement