Jumat 30 Mar 2018 01:33 WIB

Rusia Dikucilkan Amerika dan Eropa

Amerika dan sekutu-sekutunya di Eropa mengusir diplomat Rusia.

Memanasnya hubungan Inggris dengan Rusia.
Foto: republika
Memanasnya hubungan Inggris dengan Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Idealisa Masyrafina, Fitriyan Zamzami

Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Eropa mengusir puluhan diplomat Rusia sebagai tanggapan terkoordinasi terhadap kasus keracunan mata-mata Rusia di Inggris. Aksi negara-negara tersebut digadang-gadang sebagai pengusiran kolektif terbesar intelijen Rusia selepas era Perang Dingin.

Keputusan pengusiran tersebut diumumkan pada Senin (26/3) malam WIB. Lebih dari 20 negara menunjukkan sikap solidaritas terhadap Inggris terkait tudingan bahwa agen intelijen Rusia meracuni mantan agen ganda Rusia Sergei Skripal dan putrinya, Yulia, di Salisbury, Inggris bagian selatan, pada 4 Maret lalu. Keduanya masih dalam kondisi kritis, tetapi stabil di rumah sakit.

photo
Kedutaan Rusia di AS

Para pemimpin Uni Eropa pekan lalu menyepakati soal dugaan kuat bahwa Rusia berada di belakang racun agen saraf. Tudingan itu dibantah pihak Rusia yang menilai Inggris tengah memainkan permainan yang kekanak-kanakan.

"Ini adalah pengusiran kolektif terbesar terhadap agen intelijen Rusia dalam sejarah," kata Perdana Menteri Inggris Theresa May terkait pengusiran kemarin.

Ia menekankan, Inggris tak memiliki persoalan dengan masyarakat Rusia. "Tetapi, rezim Presiden Vladimir Putin telah menjalankan aksi agresi terhadap nilai-nilai yang kami pegang bersama," ujar May melanjutkan. Menurutnya, sebagai negara demokrasi Eropa yang berdaulat, Kerajaan Inggris akan berdiri bahu-membahu dengan Uni Eropa dan dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk menghadapi ancaman Rusia.

Sebelumnya, Inggris mengumumkan telah mengusir 23 diplomat Rusia awal bulan ini. Berbagai negara kemudian mengumumkan bahwa mereka melakukan langkah yang sama sebagai solidaritas pada Senin (26/3), di antaranya Amerika Serikat (AS) yang mengumumkan pengusiran 60 diplomat Rusia yang dicurigai sebagai mata-mata. Selain itu, ada Prancis yang mengusir empat diplomat, Polandia (4), Republik Cheska (3), Lithuania (3), Denmark (2), Belanda (2), Italia (2), Spanyol (2), Estonia (1), Kroasia (1), Finlandia (1), Hungaria (1), Latvia (1), Rumania (1), dan Swedia (1).

Negara lainnya yang mengumumkan pengusiran adalah Ukraina (13), Kanada (4), ditambah penolakan tiga aplikasi lebih lanjut dari Rusia, kemudian Albania (2), Australia (2), Nor wegia (1), Makedonia (1), dan Islandia yang juga mengumumkan telah menangguhkan dialog tingkat tinggi dengan pihak berwenang Rusia. Para diplomat Rusia yang diusir diberi waktu dua pekan untuk meninggalkan negara tempat mereka bertugas. Presiden Dewan Eropa Donald Tusk menyatakan, tak tertutup kemungkinan pengusiran lebih lanjut akan dilakukan.

Dalam pernyataan terkini yang dilansir Selasa (27/3), Rusia menjanjikan pembalasan keras terhadap keputusan AS mengusir puluhan diplomat mereka. Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menuturkan pada media Pemerintah Rusia, Tass, akan membahas langkah-langkah pem balasan tersebut dengan Presiden Putin. Ia menekankan, seperti yang telah berkali-kali mereka sampaikan, Rusia tak ada hubungannya dengan penggunaan racun terhadap Skripal.

Peskov juga mengungkit-ungkit kenangan masa lalu hubungan Rusia dengan negara-negara Barat terkait pengusiran. "Kejadian pengusiran seperti kemarin seharusnya jadi hal-hal yang sudah berlalu," kata dia.

Pengusiran kemarin semacam gaung dari era Perang Dingin yang dimulai sejak akhir Perang Dunia hinga awal dekade 1990-an antara Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet dan Blok Barat yang dikomandoi AS. Dalam era tersebut, salah satu pengusiran besar-besaran yang mendekati skala yang terkini terjadi pada 1986, saat Presiden AS Ronald Reagen mengusir 80 diplomat Rusia dengan lima di antaranya dituding melakukan kegiatan mata-mata.

Konotasi bakal terjadinya Perang Dingin baru juga tak lepas dari pengumuman Presiden Putin soal kemampuan terbaru Rusia meluncurkan rudal berhulu ledak nuklir yang bisa menghindari senjata penangkal tercanggih, bulan lalu. Selama Perang Dingin, AS dan Rusia memang sempat beberapa kali mengeluarkan ancaman soal perang nuklir.

Selain itu, seperti pada masa lalu, Rusia dan sekutunya be serta AS dan sekutu mereka tengah terlibat perang proxy di se jumlah tempat, utamanya di Suriah dan Ukraina. Di Suriah, sejak 2015 Rusia memutuskan mendukung langgengnya ke kuasaan Presiden Bashar al-Assad serta menyerang para pemberontak yang dilatih dan dipersenjatai AS. Sementara di Ukraina, Rusia berhasil menganeksasi Crimea di tengah kecaman AS dan sekutunya di Eropa. Aksi Rusia di Crimea juga memicu penerapan sanksi ekonomi terhadap Rusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement