Senin 26 Mar 2018 06:08 WIB

Adu Kuat Lembaga Penerimaan Pajak (LPP)

Kini pembahasan RUU KUP 2016 nyaris mangkrak.

Membayar pajak, ilustrasi
Penerimaan pajak

                                                                ******

Nawa Cita

Saat maju sebagai calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengusung sejumlah Visi Misi yang diberi lebel Nawa Cita. Salah satu visi misi di bidang ekonomi adalah penguatan kapasitas fiscal:

Kami berkomitmen untuk membangun penguatan kapasitas fiscal negara melalui:

(1) Sinkronisasi antara perencanaan pembangunan dan alokasi anggaran;  evaluasi kinerja kenaikan penerimaan pajak seiring dengan kenaikan potensinya (seperti pertumbuhan PDB), dan (2) merancang ulang lembaga pemungutan pajak berikut peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur perpajakan. 3. Melakukan desain ulang arsitektur fiscal Indonesia.

 

Setelah resmi menjabat presiden, Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 sebagai implementasi  Nawacita. Dalam klausul penerimaan negara dan redesain arsitektur fiskal, Perpres tersebut menyatakan: Pemerintah berkehendak merancang ulang lembaga pemungutan pajak  berikut peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur perpajakan (poin 8 nomor 3). Dalam jangka menengah, pengumpulan penerimaan negara termasuk pajak akan dilakukan suatu lembaga khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden namun tetap berada di bawah koordinasi Menteri Keuangan.

Presiden bergerak cepat. Kementerian Keuangan yang saat itu di bawah kendali Bambang S. Brojonegoro segera menyiapkan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) untuk mewadahi rencana pemerintah membentuk lembaga (baru) penerimaan Pajak.

Presiden pada 4 Mei 2016 menyampaikan surat No. R-28/Pres/05/2016 kepada pimpinan DPR sebagai pengantar atas RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyatakan penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang perpajakan dilaksanakan oleh Lembaga yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Tidak hanya itu, melalui Surat Menteri Sekretaris Negara No. B-395 tertanggal 11 Mei 2016 yang ditujukan kepada Menteri Keuangan;  Menteri Hukum dan HAM; dan  Menteri PAN-RB disebutkan: “Presiden meminta kepada para Menteri untuk mempertahankan dan memperjuangkan materi yang ada di dalam RUU. Jika ada usulan perubahan dari DPR, Menteri harus berkonsultasi kepada Presiden.” Sikap yang tegas sesuai dengan UUD 1945 bahwa pembentukan undang undang adalah kewenangan  DPR dan Presiden (bukan menteri).

Sikap Sri Mulyani

Dua bulan setelah RUU tersebut di tangan DPR, Presiden Jokowi menggeser Bambang Brojo menjadi Kepala Bappenas dan masuklah Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Pembahasan RUU KUP pun jalan di tempat. Nampaknya Sri Mulyani keberatan Ditjen Pajak berdiri otonom sebagai Lembaga yang bertanggung jawab langsung ke Presiden. Sikap tersebut terekam dalam sejumlah pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik.

Ketidaksetujuan Menteri Keuangan (SMI) terhadap Lembaga atau Badan Penerimaan Pajak yang terpisah dari Kementerian Keuangan, bukan sekadar wacana. Menteri Keuangan kemudian membentuk Tim Reformasi Pajak yang diketuai Suryo Utomo (Staf Ahli Menkeu bidang Kapatuhan Pajak). Pembentukan Tim Reformasi Pajak tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 885/KMK.03/2016 qq KMK No. 928/KMK.03/2016.

Salah satu tugas Tim (Diktum 9) adalah melakukan evaluasi/kajian terhadap RUU yang telah disusun untuk memastikan apakah kebijakan yang tertuang dalam RUU tersebut sudah memadai. Meski tidak menyebut secara langsung RUU mana yang perlu dilakukan evaluasi atau kajian, namun dapat disimpulkan yang dimaksud adalah RUU KUP. Sebab RUU inilah satu-satunya yang ada di tangan DPR setelah RUU Pengampunan Pajak disetujui parlemen.

Sikap Sri Mulyani yang berseberangan dengan Presiden bukan kali ini saja. Pada tahun 2006, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan kabinet SBY melalui Suratnya No. S-224/MK.01/2006 tertanggal 31 Mei 2006 kepada Pimpinan DPR praktis membatalkan RUU KUP yang telah disampaikan Presiden SBY kepada DPR dengan Surat No.R-67/Pres/8/2005 tgl 31 Agustus 2005, semasa Menteri  Keuangan Jusuf Anwar.

Artinya, Tanpa seizin Presiden SBY, Menkeu Sri Mulyani mengajukan sendiri RUU KUP lain (dengan istilah PENYEMPURNAAN) langsung kepada Pimpinan DPR. Jelas langkah SMI ini menyalahi aturan kenegaraan dan menimbulkan kehebohan politik karena baru pertama kali terjadi dalam sejarah surat Presiden dianulir menterinya. RUU KUP versi Sri Mulyani itu akhirnya dibatalkan atas perintah tegas Presiden SBY pada 28 Agustus 2006. Pembatalan itu dilaksanakan melalui surat Menkeu Sri Mulyani kpd Pimpinan DPR dengan No. S-370/MK.01/2006 yang menarik kembali surat No.S-224/MK.01/2006.

Kini pembahasan RUU KUP 2016 nyaris mangkrak.  Sudah beberapa masa sidang DPR berlalu, namun RUU KUP tidak kunjung mendapat perhatian baik dari DPR maupun dari wakil pemerintah. Konon kemacetannya karena ada rencana pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu. Bahkan setahu kami belum ada satu pun Fraksi di DPR yang menyusun DIM (daftar inventaris masalah).

Janji Politik

Pemisahan otoritas pajak dari kementerian keuangan dan berada langsung di bawah presiden sudah menjadi cita-cita Joko Widodo sejak awal dirinya ditunjuk menjadi calon presiden PDIP pada April 2014.

Sebagaimana dikutip tempo.co edisi 22 April 2014, Joko Widodo mengusulkan pajak menjadi kementerian sendiri yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. "Pajak itu harus jadi badan sendiri atau kementerian sendiri, langsung di bawah presiden," ujarnya di Balai Kota, Selasa, 22 April 2014.

Dia menyebut prinsip manajemen, tidak mungkin pendapatan dan pengeluaran diatur satu lembaga yang sama. "Dalam manajemen, enggak mungkin yang namanya pendapatan, penerimaan itu sama dengan pengeluaran, di dalam satu kotak kementerian. Yang ngeluarin sendiri, yang nerima sendiri. Kamu dapat pemasukan uang, kemudian kamu juga yang mengeluarkan uang. Hmm.. Saya mau tanya."

Langkah Joko Widodo dalam menunaikan janjinya untuk mewujudkan tata kelola pajak yang mandiri dengan menempatkan langsung di bawah presiden sebenarnya sudah dilakukan sampai dengan penyerahan naskah RUU KUP ke DPR. Sayangnya tidak ada tindak lanjutnya yang nyata untuk mewujudkannya menjadi undang undang.

Kini tergantung Presiden, apakah niatan tersebut benar-benar ingin diwujudkan atau mau menarik kembali RUU KUP 2016 tsb? Sebenarnya dalam periode ini masih cukup waktu bagi Presiden Jokowi jika masih serius dan konsisten dengan gagasan membentuk sebuah lembaga baru sebagai pengganti Ditjen Pajak. Pertanyaan ini cukup relevan mengingat

Agustus tahun 2018 ini, Joko Widodo hampir pasti mendaftar kembali untuk pemilihan presiden periode ke dua. Apakah dalam Visi Misi Nawa Cita II yang akan disodorkan ke rakyat nanti masih ada  janji untuk memisahkan Ditjen Pajak menjadi kementerian atau lembaga sendiri ? Atau menunggu sampai mendapatkan dukungan Menteri Keuangan? 

Hanya Presiden Jokowi yang bisa menjawabnya.

Jakarta, 24 Maret 2018

*Dr. Fuad Bawazier, mantan Dirjen Pajak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement