Senin 26 Mar 2018 06:08 WIB

Adu Kuat Lembaga Penerimaan Pajak (LPP)

Kini pembahasan RUU KUP 2016 nyaris mangkrak.

Membayar pajak, ilustrasi
Membayar pajak, ilustrasi

Oleh: DR Fuad Bawazier*

Mengacu kepada Rancangan Undang undang tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang telah di sampaikan Presiden Jokowi ke DPR pada 4 Mei 2016, semestinya UU KUP 2016 yg baru ini sudah berlaku efektif sejak 1 Januari 2017 dan Lembaga Penerimaan Pajak (LPP), sebuah lembaga baru yang menggantikan Direktorat Jenderal Pajak, sudah mulai beroperasi efektif paling lambat 1 Januari 2018. Kenyataannya sampai hari ini RUU KUP 2016 itu masih mengendap di DPR.

Sebenarnya apa yang terjadi di balik ini? Karena sebetulnya ide atau gagasan pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan sudah ada sejak era Presiden Megawati seperti tertuang dalam Surat Menteri PAN No.B/59/M.PAN/I/2004 yang intinya sesuai arahan Presiden Megawati perlu dibentuknya sebuah badan mandiri untuk pemungutan pendapatan negara.

Semasa Presiden SBY, kembali Kementerian PAN mengusulkan pemisahan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai dan Direktorat Penerimaan Migas dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) menjadi satu lembaga yang langsung di bawah Presiden sesuai dengan Memo No. 291/M.D.II/11/2004  tanggal 11 Nopember 2004 dari Deputi II kepada Menteri PAN.

Kini di era Presiden Jokowi gagasan ini lebih jelas karena sudah resmi tertuang dalam RUU KUP yang dikirim Presiden Jokowi ke DPR.  Penulis mencoba untuk menguraikan dan menganalisa issue ini secara kronologis karena soal pajak yang kini masih ditangani Ditjen Pajak adalah urusan hidup matinya APBN.

Pertimbangannya adalah karena:

1. LPP ini adalah salah satu upaya yang bisa di harapkan untuk menaikkan tax ratio dan menolong penerimaan negara dari pajak yang dalam 10 tahun terakhir ini terseok seok.

2. Memperbaiki efektivitas organisasi atau instansi yang bertanggung jawab dalam penerimaan pajak mengingat Ditjen Pajak adalah satu satunya unit eselon I yang mempunyai pegawai hampir 40ribu dengan 53 unit eselon II, 577 unit eselon III dan 4363 unit eselon IV, melebihi 50% dari keseluruhan pegawai Kementerian Keuangan. Beban besar ini terlalu berat untuk dipikul sebuah organisasi selevel hanya direktorat jenderal.

3. Pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu juga agar tidak semua kewenangan berada di satu tangan, yaitu agar ada pemisahan unit yang mengelola pemasukan uang negara dengan unit yang membelanjakan uang negara (pesan Presiden Jokowi).

4. Bahwa reformasi pajak yang dilaksanakan sejak 2006 baru menyentuh aspek regulasi dan reorganisasi internal direktorat jenderal pajak tetapi belum kepada kelembagaannya.

Sejak awal menjabat Presiden Jokowi menegaskan bahwa para menteri hanya akan menjalankan visi, misi, dan program utama presiden sehingga tidak ada visi dan misi menteri dalam Kabinet Kerja.

“Tugas kita semuanya jelas menjalankan visi misi dan program utama presiden. Tidak ada lagi yang namanya visi dan misi menteri karena yang ada hanyalah program operasional menteri,” katanya saat memberikan arahan dalam Sidang Kabinet di Kantor Presiden, sebagaimana dikutip Bisnis.com edisi 27 Oktober 2014. Presiden menegaskan para menteri Kabinet Kerja harus bekerja sesuai dengan garis lurus berdasarkan arahan presiden yang disampaikan secara tertutup. 

Penegasan serupa kembali diulang saat Presiden Joko Widodo melantik 12 menteri dan kepala BKPM pada 27 Juli 2016. Seperti dikutip Kompas.com, Presiden meminta para menterinya bekerja padu. Kabinet, kata Kepala Negara, harus solid, kompak dan saling mendukung.

Jokowi kembali menekankan bahwa tidak ada visi-misi menteri. Yang ada, kata beliau, adalah visi-misi Presiden dan Wakil Presiden. "Semua kementerian dan lembaga harus satu garis lurus dengan visi misi saat ini," katanya saat membuka rapat paripurna kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/7/2016).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement