Sabtu 24 Mar 2018 04:08 WIB

Menanti Sang Penantang Jokowi

Akankah Jokowi akan melawan 'Kotak Kosong' dan Jadi Pertandingan Persahabatan?

Bayu Hermawan
Foto: dok. Pribadi
Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bayu Hermawan*

Ibarat pertandingan tinju kelas berat, juara bertahan siap mempertaruhkan gelarnya. Penonton pun tidak sabar. Namun bukan tidak sabar menanti hari pertandingan, penonton justru tidak sabar menunggu siapa yang berani mencoba merebut sabuk juara dari sang juara bertahan.

Kira-kira mungkin seperti itulah kondisi jelang ajang Pemilihan Presiden tahun 2019 mendatang. Jokowi, sang calon pejawat, sudah semakin percaya diri maju kembali di ajang Pilpres, dengan dukungan beberapa Parpol dibelakangnya. Sementara, hingga saat ini belum ada satu pun tokoh yang 'berani' menyatakan diri menjadi penantang serius Jokowi.

Memang ada sejumlah nama tokoh yang disebut-sebut berpeluang maju di Pilpres 2019. Namun mayoritas hanya berani maju sebagai calon wakil presiden, itu pun bersaing untuk mendampingi Jokowi. Mungkin, satu-satunya Parpol yang tetap konsisten berani mengelar ajang pencarian bakal calon presiden dari internal adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sementara Parpol-parpol lain, bersaing menyodorkan nama dan mengampanyekan kader terbaiknya untuk menjadi Cawapres Jokowi.

Prabowo dan Gerindra, yang menjadi lawan tangguh Jokowi di Pilpres 2014 lalu pun terkesan belum percaya diri bersaing dengan sang Capres Pejawat. Meski sudah ada puluhan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menyatakan siap memenangkan Prabowo, namun Ketua Umum dan DPP Gerindra itu bergeming. Belum ada tanda-tanda kepastian apakah Prabowo akan melakukan re-match melawan Jokowi atau menjadi king makers di Pilpres.

Sebegitu kuatnya Jokowi sehingga belum ada yang percaya diri menjadi penantang?. Jika dilihat dari susunan Parpol pengusung, memang koalisi pendukung Jokowi mempunyai kekuatan besar. Dalam barisan pendukung Jokowi ada PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP dengan total suara mengacu para Pemilu 2014 sebesar kurang lebih 52,21 persen. Belum lagi jika akhirnya Demokrat dan PKB memutuskan mendukung Jokowi.

Namun, bisa dikatakan perolehan suara Parpol tidak berpengaruh di ajang Pilpres, selain hanya sebagai tiket masuk belaka. Toh, penentu kemenangan di Pilpres adalah sosok yang diusung sebagai Capres dan Cawapresnya. Jika melihat hasil survei dari lembaga survei, sangat mungkin Jokowi bisa dikalahkan. Kita ambil contoh survei dari Median, yang menyatakan elektabilitas Jokowi saat ini berada di angka 35,0 persen. Sementara pada Pilpres lalu, Jokowi berhasil meraih kemenangan dengan jumlah dukungan sebesar 53,15 persen.

Artinya, ada peluang bagi calon penantang untuk merebut sekitar 18,15 persen dukungan terhadap Jokowi yang hilang, selama empat tahun terakhir ini. Jika mengacu pada jadwal di Komisi Pemilihan Umum, pengajuan bakal calon presiden dan Cawapres baru dibuka pada Agustus mendatang. Tetapi ada beberapa alasan mengapa sebaiknya Parpol-Parpol yang serius ingin bertarung di Pilpres mendeklarasikan jagoannya secepat mungkin.

Pertama, dalam beberapa survei, meski mengalami penurunan namun elektabilitas Jokowi masih yang tertinggi. Jika Capres lawan Jokowi tidak segera dideklarasikan, maka peluang jokowi untuk meningkatkan elektabilitas akan semakin leluasa. Setidaknya, masyarakat akan mempunyai pemikiran kembali memilih Jokowi, karena sudah pasti maju di Pilpres.

Kedua, calon lawan harus memahami bahwa yang bertarung dengan mereka adalah Capres Pejawat, yang artinya saat ini menjadi presiden. Tentunya, dengan semakin lamanya waktu deklarasi, maka waktu untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat akan semakin berkurang. Sementara sebagai Capres pejawat, Jokowi bisa mudah mensosialisasikan diri sebagai capres. Sebab, segala aktivitas kepresidenan bisa menjadi celah untuk bersosialisasi. Sementara karena Pilpres akan digelar bersamaan dengan Pemilu, maka akan sulit bagi Capres penantang untuk mensosialiasikan dirinya.

Lalu Parpol mana saja yang bisa memunculkan penantang Jokowi di Pilpres. Jika mengacu hasil Pemilu 2014, setidaknya bisa terbentuk dua koalisi baru. Kemungkinan pertama adalah koalisi dari Gerindra, PKS dan PAN. Dari koalisi ini berpeluang memunculkan Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, serta salah satu dari sembilan nama yang masuk dalam penjaringan Capres PKS yakni Ahmad Heryawan, Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Irwan Prayitno, Sohibul Iman, Salim Segaf Al Jufri, Tifatul Sembiring, Muzammil Yusuf, dan Mardani Ali Sera.

Koalisi Kedua kemungkinan bisa terbentuk dari Demokrat, PKB dan PPP. Meski  saat ini berada di barisan pendukung Jokowi, bukan tidak mungkin mengalihkan dukungan jika kader yang diajukan sebagai Cawapres tidak dipilih oleh Jokowi. Dari koalisi ini bisa memunculkan Capres alternatif seperti Agus Harimurti Yudhoyono, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, Muhaimin Iskandar dan M. Romahurmuziy. Plus PBB yang pada akhirnya dinyatakan lolos ke Pemilu 2019, dan mempunyai Yusril Ihza Mahendra yang bisa menjadi alternatif pilihan.

Ingat, dalam politik segala hal memungkinkan terjadi. Justru yang patut dikhawatirkan adalah munculnya calon tunggal. Hal ini juga bukan tidak mungkin terjadi mengingat jika dilihat saat ini, sepertinya Parpol-Parpol diluar Gerindra dan PKS, menunjukan minat untuk bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi. Jika hal ini terjadi, tentu akan sangat mengecewakan karena Jokowi akan melawan kotak kosong di Pilpres.

Kekhawatiran lain adalah munculnya penantang 'boneka' di Pilpres. Jika ini terjadi, maka pertarungan di Pilpres 2019 tidak lebih hanya menjadi semacan friendly match. Saya berharap, belum adanya penantang serius Jokowi, hanya karena Parpol masih 'malu-malu' untuk mengusung calonnya, bukan karena telah merasa kalah sebelum bertarung.

 

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement