Jumat 23 Mar 2018 15:47 WIB

Kopi Arabika Gayo Capai Harga Tertinggi

Penurunan produksi kopi disebabkan perubahan iklim dan cuaca yang semakin tak menentu

Kopi Arabika Gayo
Foto: tripwow.tripadvisor.com
Kopi Arabika Gayo

REPUBLIKA.CO.ID, TAKENGON -- Kopi biji hijau jenis Arabica Gayo terus mengalami kenaikan hingga 29 persen menjadi Rp 75 ribu per kg. Itu merupakan harga tertinggi selama beberapa tahun terakhir.

Pelaku usaha "Kupi Takengon" sekaligus petani kopi, Win Ruhdi Bathin, kepada wartawan di Takengon, Jumat (23/3) mengatakan, saat ini penjualan kopi Arabica Gayo berada di harga tertinggi dibanding beberapa tahun belakangan.

Menurut dia, tingginya harga komoditas ekspor tersebut karena produktivitasnya yang kian menurun akhir-akhir ini.  Disebutkan, untuk biji kopi Arabika gelondongan di tingkat petani di Takengon berada di kisaran Rp 11.600 per kg dari harga tertinggi sebelumnya di kisaran Rp 8.300 per kg.

"Semua tingkat perdagangan kopi Arabika Gayo terus mengalami kenaikan harga. Banyak faktor melambungnya harga kopi ini, salah satunya akibat turunnya produksi hingga mencapai 50 persen," tutur Win Ruhdi Bathin.

Menurut dia penurunan produksi kopi disebabkan perubahan iklim dan cuaca yang semakin tidak menentu, sehingga juga berdampak pada masa panen kopi yang terus berubah-ubah.

Selain itu perubahan iklim juga berdampak pada perubahan ekosistem dengan munculnya serangan hama baru pada buah kopi. "Akhir-akhir ini perubahan iklim sangat berpengaruh mengacaukan tatanan ekosistem kopi. Contoh, sebelumnya serangga penggerek buah yang merusak buah kopi tidak ditemukan pada ketinggian 1.200 DPL, sekarang sudah ada. Ini juga menjadi salah satu faktor produksi kopi menurun," ujar Win Ruhdi.

Lanjutnya, penurunan produktivitas kopi secara umum di wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagai dua daerah penghasil kopi terbesar. Hal itu menyebabkan para eksportir di sana kewalahan memenuhi kebutuhan ekspor sesuai jumlah kontrak perdagangan yang telah disepakati sebelumnya.

"Produksi turun harga naik, itu sudah lumrah dalam teori ekonomi. Apalagi toke-toke besar di Takengon sudah ikat kontrak dengan pembeli luar negeri, mereka tentu takut kuota ekspor kopinya tidak terpenuhi, takut terkena sanksi administrasi, hingga pemutusan kontrak," kata dia.

Peredaran kopi yang semakin berkurang saat ini, tutur Win Ruhdi, membuat perburuan kopi di kalangan eksportir di Aceh Tengah semakin gencar. Bahkan langsung menyasar kebun-kebun kopi rakyat di wilayah itu, sehingga para petani tak perlu lagi repot mencari pembeli.

"Perburuan biji kopi sudah sampai ke tingkat dusun di setiap kampung. Para toke memborong berapa pun kopi yang ada. Padahal sebelumnya, toke-toke besar ini hanya duduk manis menunggu kopi diantar ke gudangnya," tutur Win.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement