Sabtu 24 Mar 2018 05:07 WIB

Sukarno, Natsir, Bebek Lumpuh, Hingga Negara Bubar

Sejarah kita mengenal Indonesia dengan bentuk negara berbagai rasa.

Sukarni bertemu dengan Laksamana Tojo padan1Juki 1943.
Foto: gahetna.nl
Sukarni bertemu dengan Laksamana Tojo padan1Juki 1943.

Oleh: Maiyasyak Johan*

Secara histories jatuh dan bangun atau muncul dan bubarnya suatu negara di wilayah Asia Tenggara dan Busantara ini bukanlah sesuatu yang baru - melainkan sebagai sebuah peristiwa yang kerap terjadi. Pemerintah Penjajahan Belanda pernah mengalaminya.

Penjajah pertama wilayah Nusantara (kini Indonesia) dari Belanda adalah VOC. VOC ini bubar karena korupsi yang dilakukan oleh elitenya (dewan 17) bukan oleh pegawai atau punggawanya. Begitu VOC bubar, lalu berdirilah Pemerintahan Hindia Belanda yang menjajah Indonesia hingga tahun 1942.

Setelah pemerintahan atau negara Hindia Belanda bubar ditaklukan oleh Jepang. Dan, berdirilah Pemerintahan Dai Nippon Asia Raya yang menguasai Indonesia. Tahun 1945, memanfaatkan situasi yang menguntungkan dari Perang Dunia ke-II, melanjutkan sebuah proses diskursus yang muncul sejak awal 1900-an serta hasil rapat BPUPK tertanggal 28 Mei - 1 juni 1945, tepatnya tanggal 17 agustus 1945 di Proklamirkanlah Kemerdekaan Indonesia.

photo
Sukarno ditangkap dan dibuang ke Sumatra pada agresi Belanda kedua. Belanda menyebut eksistensi negara Indobesia bubar ketika ibu kota negara dikuasai dan pemimpin negara ditangkap. (Foto gahetna.nl).

Ketika Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, belum jelas batas wilayahnya - sebab berbagai kerajaan (negara) Islam masih ada walau dengan kekuasaan yang terbatas. Belanda yang menjadi bagian dari sekutu, pemenang Perang dunia ke-II, tak rela atas kemerdekaan Indonesia - lalu meminta bantuan sekutu untuk bisa menguasai kembali Indonesia menjadi wilayah jajahannya. Lalu terjadilah agresi Belanda pertama dan kedua.

Pada era yang disebut era perang kemerdekaan itu, lahirlah negara federasi, dimana Indonesia menjadi salah satu negara dari negara federasi tersebut - yang disebut dengan RIS (Republik Indonesia Serikat) yang melahirkan dua Presiden, yakni: Sikarno sebagai Presiden RIS, dan Mr Asat sebagai Presiden Indonesia.

Pergolakan perdebatan yang berlarut-larut itu kemudian dijawab dengan cerdas oleh Muhammad Natsir (Partai Masyumi) dengan mengajukan apa yang dikenal dengan nama: MOSI INTEGRAL. Berdasarkan Catatan Sejarah ini, maka yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Muhammad Natsir - bukan Sukarno.

 

photo
Sukarno bersama M Natsir. Di Kabinet dengan Perdana Menteri M Natsir inilah terbentiknya Mosi Integral.

Dan itu adalah Keputusan Politik Parlemen Indonesia ketika itu. Dengan mosi integral M Natsir (Masyumi) yang diterima parlemen maka RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri.

Fakta ini menjelaskan, tentang jatuh bangun atau bangkit berdiri dan bubarnya negara telah berkali-kali terjadi di Indonesia. Namun spiritnya sama: ingin membebaskan kaum pribumi dari cengkraman pendatang asing Eropah mau pun pendatang asal Cina.

Lalu setelah M. Natsir (Masyumi) berhasil melalui parlemen dalam mendirikan NKRI, lalu dibentuklah Badan Konstituante untuk menyusun UUD Indonesia. Menurut pakar hukum Dr. Adnan Buyung Nasution dalam disertasinya yag kemudian dibukukan berjudul Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-legal atas konstituante 1956-1959”, badan ini sebenarnya hampir menyelesaikan tugasnya menyusun UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun tulis Buyung Nasution, kerja Badan Konsituante  tak tercapai atau bisa diselesaikan karena Sukarno selaku presiden ketika itu mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 45, Selain itu Sukarno juga mengeluarkan Doktrin Manipol Usdek dan Nasakom serta membubarkan parlemen hasil pemilu tahun 1955. Dia kemudian mendirikan DPRGR/S yang sangat politis sampai Sukarno jatuh pada tahun 1965.

Nah, setidaknya dari sejarah itu kita mengenal Indonesia dengan bentuk negara berbagai rasa. Yang pasti negara jatuh bangun, eksis dan bubar, bukan sesuatu yang fiksi atau khayalan. Sebab, dalam sejarah Indonesia pun sudah sering kita alami..?

photo
Kesultanan Ternate.

Ingat ya dahulu ada Mataram Hindu, Sriwijaya, Majapahit, Samudera Pasai, Demak, Pajang dan Mataram Islam. Semua bubar. Mataram terbelah jadi dua negara, Surakarta dan Jogjakarta (tinggal yang masih eksis). Masing-masing juga kemudian pecah dua. Hindia Belanda pada tahun 1942 pun bubar. Kesultanan (Melayu Siak Indrapura, Melayu Deli, Pontianak, Banten, Cirebon,  Bugis, Ternate. Tidore, dll) juga tinggal kenangan. Jadi ini pengalaman nyata yang pernah dialami leluhur kita!

 

photo
Kraton Kesultanan Kadriah Pontianak. Salah satu rajanya adalah Sultan Hamid II pencipta lambang garuda pancasila.

                                                                    *****

Memang sebelum sebuah negara bubar, dikenal eksis terlebuh dahulu dalam sebutan status sebagai  'negara gagal.' Bahkan itu ada istilah keren berbau Inggris 'Lameduck Nation' (negara bebek lumpuh). Istilah  "bebek lumpuh" berasal sebagai deskripsi pialang saham pada 1700-an di Inggris yang tidak bisa melunasi utang mereka. Nama itu kemudian dibawa ke orang-orang dalam bisnis yang, ketika diketahui bangkrut, akan terus melakukan bisnis.

Yang paling ngeri bila istilah apa yang disebut Denny JA terjadi.  Dia sudah mendalami lebih jauh macam apa prasyarat negara gagal atau 'Failed Statei itu, dan bagaimapula ia bisa diukur secara kuantitatif dalam Fragile State Index.

Failed State, negara gagal, atau dengan tanda kutip kita sebut negara yang mungkin "musnah," adalah kondisi ketika kemampuan pemerintah untuk mengelola kompleksitas negara berada pada titik rendah. Menurunnya wibawa pemerintah nasional mengancam keberlangsungan negara yang berdaulat. Meluas ketidak nyamanan warga.

Beberapa indikator dapat dikenali. Menurut Denny, terjadinya penurunan kesejahteraan masyarakat yang signifikan, atau yang disebut economic collapse. Di samping bertambahnya kemiskinan, juga di sana sini terjadi kerusuhan akibat kondisi ekonomi.

Akankah negeri tercinta ini mengalaminya?

*Maiyasak Johan, mantan Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement