REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Di awal tahun politik ini, pemerintah membuka lebar-lebar keran impor komoditas pangan. Izin impor dikeluarkan berlembar-lembar. Berbagai alasan pun dikemukakan untuk menghalalkan impor tersebut.
Heboh impor beras di awal musim panen padi pada Februari lalu ternyata tak membuat pemerintah jera mendatangkan komoditas pangan impor lainnya. Berturut-turut setelahnya mengemuka rencana impor seperti daging kerbau, sapi, bawang hingga garam.
Sikap pemerintah yang royal mengumbar izin impor di tahun politik ini mengundang kritikan dari pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy. Ia mengatakan pembenaran impor garam secara besar-besaran sebanyak 3,7 juta ton bukan sekadar mendikte pasar tapi juga cara paling cepat oleh oknum untuk memperoleh uang politik.
"Maka muncul pembenaran impor. Padahal impor adalah salah cara mendikte pasar sekaligus cara paling cepat memperoleh uang," kata Noorsy kepada wartawan, Rabu (21/3). Jelang tahun politik menurutnya seringkali menjadi momentum untuk melakukan impor.
Menurut Noorsy, impor garam seperti halnya komoditas lain akan menjadi sumber pendapatan bagi pebisnis sekaligus kalangan politisi. Dia mencontohkan, di akhir pemerintahan Soeharto, pemerintah tidak konsisten dalam menyediakan garam beryodium, yang diikuti tingginya permintaan garam rumah tangga dan industri.
Hal itu membuat impor garam dilakukan. "Ironi, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia mengalami kekurangan garam," ujarnya.
Dia mengatakan orientasi pemerintah untuk memperoleh pendapatan fiskal telah mengabaikan produktivitas dalam negeri. Pemerintah tidak memiliki cetak biru perindustrian. Akibatnya, kualitas produk garam lokal kalah bersaing.
Kondisi tersebut diperparah dengan tata ruang pantai yang tanpa kepastian dan kejelasan. Petani garam, seperti juga petani tanaman palawija atau padi, dinilai tidak punya harapan hidup yang layak jika terus menambang garam. "Kata kuncinya ada pada sikap pemerintah, mau berpihak pada masyarakat atau mau berpihak kepada pemburu rente," ujarnya.
Soal dana politik yang dipungut dari impor pangan ini mengingatkan kembali pada kasus impor daging sapi yang melibatkan petinggi parpol beberapa tahun lalu. Kasus yang diungkap KPK ini memperlihatkan adanya aliran dana ke tokoh parpol. Fee dipungut dari setiap kilogram daging sapi yang diimpor yang nilai totalnya mencapai puluhan miliar rupiah.
Pedagang memilah bawang putih impor di Pasar Induk Kramat Jati , Jakarta, Kamis (23/4). (prayogi/Republika).
Impor tak efektif tekan harga
Kritik terhadap impor pangan juga disampaikan Direktur Eksekutif Institute fo Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati. Ia meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan impor bawang putih. Alasannya, impor bawang putih yang dilakukan belum mampu membantu menurunkan harga komoditas itu di pasaran.
Enny menyebutkan saat ini lebih dari 50 persen kebutuhan bawang putih di dalam negeri dipenuhi dari impor. Impor bawang putih bahkan diterapkan tanpa menggunakan skema kuota.
Anehnya, bawang putih impor ini tak serta merta membuat harga komoditas tersebut stabil atau turun. Padahal, kerap kali pemerintah menggunakan alasan bahwa impor dibutuhkan untuk menurunkan harga komoditas itu.
"Kebutuhan kita impor, lebih dari 50 persen, bahkan 70 persen ketika tidak panen. Kalau dengan kuota ini yang menyebabkan kelangkaan, karena kongkalikong saja sudah pasti barang langka. Tapi ini saya tidak mengerti penyebab harganya tidak turun," ujar dia di Jakarta.
Menurut Enny, pemerintah harus menelusuri secara serius penyebab dari tingginya harga bawang putih di pasaran. Jika memang murni karena permintaannya meningkat, maka suplainya harus ditambah. "Tapi yang pasti ini terkait demand supply," ujar dia.
Pada 2018 ini Kementerian Pertanian telah menerbitkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) komoditas bawang putih sebesar 450 ribu ton. Sedangkan realisasi importasi bawang putih di tahun ini tergantung kepada Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan.
Saat ini Kemendag telah menerbitkan persetujuan impor sebanyak 125.984 ton kepada 13 perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir (API) dan 2 API-P sebesar 8 ribu bawang putih.
Mengutip website Info Pangan Jakarta, harga bawang putih tertinggi berada di Pasar Cibubur sebesar Rp 75 ribu per Kg dan terendah di Pasar Cengkareng senilai Rp 28 ribu, dimana harga rata-rata untuk pasar di Jakarta sebesar Rp 40.484 per Kg.
Pekerja sedang melakukan bongkar muatan daging sapi impor di gudang Bulog, Jakarta, beberapa waktu lalu. (Republika/Tahta Aidilla)
Impor, impor, impor
Belum juga polemik impor garam mereda, pemerintah mengumumkan recana alternatif impor daging sapi dari Brazil. Alasannya, pemerintah perlu mengantisipasi melonjaknya permintaan daging sapi pada periode Ramadhan dan Lebaran 2018.
"Kita tidak mau tergantung pada Australia saja. Tapi Brasil itu perlu dicek betul ke sana. Nanti tim dari Kementan akan berangkat ke sana untuk mengecek zona mana yang bebas penyakit, kemudian pemotongannya itu apakah sudah memenuhi standar halal atau belum," ujar Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Rabu (21/3).
Ke depan, ujarnya, Kementerian Perdagangan akan mengundang kepala perusahaan swasta maupun BUMN untuk mensosialisasikan rencana ini. "Artinya lelangnya itu siapa yang dapat izin dan siapa yang berani menawarkan harga yang paling murah. Harus bisa dijual sebagian paling tidak di harga rendah berkisar Rp 80 ribu sampai Rp 85 ribu. Sekarang kan harga masih di atas Rp 100 ribu," ujar Darmin.
Sejak tahun lalu, pemerintah menargetkan harga daging sapi bisa turun di bawah kisaran Rp 100 ribu per kg. Namun sampai sekarang harganya tetap tinggi kendati daging impor telah didatangkan.
Darmin mengaku, pembahasan mengenai rencana itu belum sampai pada jumlah impor yang akan dilakukan. Hanya daging sapi impor itu akan mulai datang pada Ramadhan atau sebelum Idul Fitri 2018.
Darmin mengaku, tujuan impor daging sapi adalah untuk menjaga ketersediaan dan menekan harga daging sapi di pasar. "Kita ingin pasokan yang baik untuk puasa dan lebaran dan harganya turun dari sekarang," ujar Darmin.
Selain impor daging sapi, tahun ini pemerintah juga berniat mengimpor 15 ribu ekor sapi indukan. Sapi indukan impor ini disebut untuk mendorong populasi sapi di dalam negeri.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita mengatakan Indonesia menargetkan bisa mengekspor sapi ke negara lain pada 2026. Namun untuk mencapai itu, populasi sapi dalam negeri harus mencapai 33 juta populasi. Saat ini, kata dia, populasi sapi nasional berada di kisaran 16 juta populasi.