REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Universitas Indonesia,Reni Suwarso, menjelaskan, nilai tambah ketika tokoh perempuan maju ke Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 adalah meningkatkan perhatian pemerintah terhadap isu dan kebijakan pro-perempuan. Terlebih, ketika calon tersebut memiliki gender sensitive yang tinggi.
Salah satu isu pro-perempuan yang dimaksud Reni adalah kesehatan. Ia mencontohkan kebijakan Hillary Clinton saat maju dalam Pilpres Amerika Serikat terakhir yang menawarkan pemerataan dan peningkatan kualitas asuransi kesehatan. "Isu kesejahteraan, ketersediaan air dan pendidikan juga masuk ke dalamnya," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (20/3).
Perhatian perempuan terhadap isu-isu tersebut bukan tanpa dasar. Menurut Reni, selama ini, dampak dari kebijakan itu dirasakan secara langsung oleh kaum perempuan. Dari kenaikan harga beras, minyak hingga biaya pendidikan, lebih banyak berimbas langsung ke perempuan.
Tapi, menurut Reni, dari beberapa nama yang masuk dalam bursa cawapres sejauh ini belum terlihat menonjolkan gender sensitive. Mereka adalah Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti dan Puan Maharani. "Semoga, kalau pun nanti ada yang maju dalam Pilpres 2019, bisa bawa isu-isu gender sensitive itu," tuturnya.
Di samping nilai tambah, Reni mengakui, pemimpin perempuan di Indonesia masih mengalami hambatan besar dari segi penerimaan. Hal ini terjadi pada 1999, ketika Megawati hendak mengajukan diri sebagai calon presiden. Saat itu, ada beberapa kalangan yang melakukan politisasi untuk mencoba mengganjal perempuan sebagai pemimpin.
Reni melihat, tindakan tersebut sesungguhnya hanya kepentingan sejumlah oknum yang menyasar perempuan keluar dari jabatan. "Saat ini sudah mereda karena mereka melihat kepemimpinan perempuan juga baik," ucapnya.