Senin 19 Mar 2018 14:30 WIB

Penyebab Konflik Harimau dan Manusia Menurut BKSDA

Salah satunya karena harimau baru berpisah dari induknya.

Harimau Sumatera bernama ‘Tuan’ lahir di Portugal tapi sudah tinggal di Kebun Binatang Adelaide selama 13 tahun.
Foto: ABC
Harimau Sumatera bernama ‘Tuan’ lahir di Portugal tapi sudah tinggal di Kebun Binatang Adelaide selama 13 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Konflik antara harimau (panthera tigris) dengan manusia disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya karena harimau yang sedang belajar berburu karena baru berpisah dari induknya.

Hal itu diungkapkan pejabat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat (Sumbar). "Ketika harimau berpisah dari induknya, maka mereka harus mulai berburu sendiri sehingga berpotensi untuk memangsa manusia atau hewan ternak," kata Kepala BKSDA Sumbar, Erly Sukrismanto di Padang, Senin (19/3).

Kemudian penyebab lainnya, wilayah jelajah harimau yang semakin sedikit dan mangsanya juga tidak ada sehingga mereka masuk ke pemukiman masyarakat.

Wilayah jelajah harimau cukup luas untuk berburu, mencapai 60 kilometer persegi, sebutnya. Sehingga ketika tempat berburunya sudah semakin kecil atau rusak, maka mereka akan mencari alternatif dan terjadilah konflik tersebut.

Kemudian, misalnya pada 10 tahun lalu tempat tersebut adalah hutan, namun saat ini beralih fungsi menjadi pemukiman atau ladang penduduk, maka satu waktu harimau pasti akan kembali lagi ke tempat itu.

Hal tersebut dinamakan home range, mereka akan mengingat tempat-tempat yang pernah dijelajahinya dahulu, namun ketika kembali ke tempat tersebut, harimau tidak akan tinggal dalam waktu yang lama, hanya sekitar tiga sampai empat hari, jelasnya.

"Perilaku satwa yang terlibat konflik rata-rata seperti itu, mereka pada saat tertentu akan datang ke tempat yang dikenalinya, namun hanya beberapa hari dia akan pergi sendiri," tambahnya.

Erly menyebutkan potensi konflik harimau dan manusia banyak di Kabupaten Pesisir Selatan dan Agam karena populasinya berada di wilayah itu. "Jumlah konflik harimau dengan manusia sejak 2017 sekitar 10 kali," katanya.

Untuk penanganan konflik ini, BKSDA biasanya melihat situasi, ada masanya dilakukan pengusiran atau pemindahan lokasi dan juga dipasang perangkap.  "Kami ingin kalau ada satwa mengganggu, jangan sampai ada yang dibunuh karena satwa dibutuhkan dalam kelangsungan kehidupan di bumi," katanya.

Ia juga mengimbau masyarakat agar tidak mengikat hewan peliharaannya di pinggir hutan, sehingga ketika ada harimau yang hendak memangsa, mereka tidak bisa lari.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement