Senin 19 Mar 2018 05:39 WIB

Penderitaan Warga Gaza yang Terlupakan

Krisis hati nurani warga dunia terjadi terhadap warga Palestina di Gaza.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto:

Yang menyedihkan, konferensi itu tidak membahas sama sekali penyelesaian tentang penjajahan Israel, yang menjadi penyebab utama kesengsaraan warga Gaza. Konferensi juga mengabaikan persoalan pengungsi Palestina yang merupakan 75 persen dari seluruh populasi warga Gaza.

Mereka pun tidak peduli dengan sikap Israel yang menolak memberikan izin kepada warga Gaza yang membutuhkan perawatan medis. Akibatnya, 54 warga Palestina pun meninggal dunia pada 2017 lalu. Konferensi pun tidak membahas mengenai air di Gaza yang 98 persen tidak layak diminum dan tentang suplai makanan yang kurang.

Yang menyedihkan, konferensi itu justru mengisyaratkan bahwa “situasi tragis di Gaza” adalah akibat kesalahan yang dilakukan oleh warga Palestina sendiri atau akibat dari “keadaan”. Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan “keadaan” itu.

Persoalan Palestina, terutama warga Gaza, tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Penyebab utama dari krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza adalah pendudukan Israel dan blokade ilegal, ditambah kebijakan ekstrem partai sayap kanan yang kini berkuasa di Israel. Yang patut disayangkan, masyarakat internasional pun mulai percaya dan bahkan ikut mempromosikan sebuah kebijakan yang bernama “demi kepentingan keamanan Israel”.

Dengan demikian, bila masyarakat internasional terus membantu “membayar tagihan pendudukan Israel dan membiayai blokade tersebut”, itu berarti mereka—baik langsung maupun tidak langsung—telah terlibat membantu penjajahan Israel atas bangsa Palestina. Mereka juga harus bertanggung jawab terhadap penderitaan warga Palestina karena telah menjadi pendukung penjajah Israel untuk memblokade Jalur Gaza.

Akan lebih baik bila masyarakat internasional dan pemimpin dunia tidak menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaga hanya untuk menyelenggarakan konferensi yang akan memperpanjang penjajahan dan mengabaikan kemungkinan menciptakan perdamaian. Sebab, yang diperlukan adalah konferensi yang bertujuan untuk mengakhiri penjajahan dan blokade.

Yang dibutuhkan adalah menegosiasikan solusi yang adil dan abadi untuk dua negara dengan perbatasan tahun 1967. Yang dibutuhkan adalah kepedulian masyarakat internasional dan para pemimpin dunia untuk melenyapkan penjajahan dari muka bumi karena berlawanan dengan hak asasi manusia.

Bagi bangsa Palestina sendiri, sebagaimana disampaikan Saeb Erekat, akan terus bertahan dan melawan penjajahan. Sesuai dengan hukum internasional, perjuangan sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah hak hingga kemerdekaan tercapai, meskipun perjuangan itu akan sangat panjang dan berliku. Yakni, negara Palestina yang berdaulat dengan perbatasan sebelum 1967, dengan ibu kota abadi Yerusalem Timur atau al-Qud as-Syarif.

Erekat pun mengutip mantra Nelson Mandela, pemimpin yang telah membebaskan Afrika Selatan dari politik apartheid, ‘’Jalan menuju kebebasan akan sangat panjang. Kita harus yakin kemerdekaan suatu waktu akan tercapai.’’

Menurut Erekat, sebuah generasi (Palestina) akan tercerahkan dengan apa yang dilakukan generasi kini, dan generasi sekarang telah tercerahkan oleh apa yang dilakukan oleh generasi terdahulu, yang telah mendiami tanah Palestina sejak awal sejarah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement