Rabu 14 Mar 2018 14:40 WIB

Abraham Samad: Menko Polhukam Jangan Intervensi KPK

Jika menuruti imbauan Wiranto, KPK bisa diartikan melemahkan pemberantasan korupsi.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andri Saubani
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode  2011-2015 Abraham Samad menilai, sudah tepat KPK menolak permintaan Menko Polhukam Wiranto untuk menunda pengumuman calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi. Jika meluluskan permintaan lembaga negara lain, KPK bisa diartikan memperlambat dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.

Menurut Samad, permintaan terhadap KPK agar menunda pengumuman tersangka kepala daerah yang terlibat korupsi itu sudah merupakan bentuk intervensi terhadap KPK yang merupakan lembaga independen. "Jangankan kementrian, Presiden pun tidak bisa mengintervensi KPK," kata Abraham Samad, Rabu (14/3) di Jakarta.

Abraham mengingatkan, dalam sistem ketatanegaraan, KPK ditempatkan sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai lembaga penegakan hukum dalam hal pemberantasan korupsi, termasuk korupsi yang dilakukan di sejumlah daerah yang melibatkan calon kepala daerah petahana atau yang bukan petahana. Abraham dapat memahami, apa yang disampaikan Wiranto secara substantif bermuatan positif, yakni dalam penyelanggaraan Pilkada di 171 daerah agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Baca: Wiranto tak Paksa KPK Tunda Proses Hukum Peserta Pilkada.

Namun, demikian Abraham mengingatkan, kalaupun KPK meluluskan permintaan Wiranto untuk menunda pengumuman tersangka, maka dampak yang ditimbulkan atas penundaan itu tidaklah kecil dan bahkan semakin buruk. Abraham mencontohkan, kalau seorang kepala daerah yang semula sudah dilakukan pengusutan terhadap kasus korupsi tapi kemudian ditunda karena adanya permintaan, setelah selesainya pilkada dan dilantik menjadi kepala daerah, persoalan akan kembali muncul.

"Selain merugikan biaya, waktu, dan tenaga untuk menyelenggarakan pilkada," kata Samad.

Dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, kata Samad, permintaan Wiranto tetaplah dapat dikategorikan intervensi terhadap tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga independen yang bertugas melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi. "Jadi, KPK tidak perlu menanggapi permintaan Pak Wiranto itu, syukur kalau malah menolaknya secara tegas," kata Samad.

Menurut Abraham, tugas dan kewenangan KPK adalah mengusut tindakan korupsi yang dilakukan siapa saja dan menindak kapan saja. Kerja KPK tidak boleh batasi ruang dan waktu, bahkan tidak boleh dihentikan karena adanya intervensi dari pihak manapun, bahkan dari Presiden RI sekalipun.

Abraham mengemukakan data dan fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai adanya aliran dana mencurigakan yang diduga digunakan terkait Pilkada Serentak 2018, di mana PPATK mencatat 53 transaksi elektronik dan 1.066 transaksi tunai puluhan miliaran rupiah. Sedang perihal aliran dana yang terkait peserta pilkada tercatat 368 transaksi mencurigakan dan yang sudah ada hasil analisisnya sebanyak 34 laporan.

Bahayanya jika KPK tunduk pada intervensi sebagaimana yang dilakukan Wiranto, lanjut Abraham, kasus-kasus yang melibatkan calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi bisa berjalan di tempat, bahkan alat-alat bukti terhadap kasus tersebut bisa hilang atau sebgaja dihilangkan untuk menghapus jejak.

"Jika tunduk kepada keinginan Pak Wiranto itu, KPK bisa ditafsirkan sebagai memberi toleransi terhadap kejahatan korupsi oleh KPK itu sendiri. Atau paling tidak dikategorikan sebagai upaya pembiaran terhadap terjadinya kejahatan korupsi," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement