Rabu 14 Mar 2018 00:40 WIB

Kelangkaan BBM dan Penghapusan RON 88

Komitmen pemerintah untuk membenahi tata niaga BBM dalam negeri sangat penting.

Kendaraan melintas usai mengisi mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) Non Subsidi pada kendaraan di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Ahad (25/2).
Foto: Republika/Prayogi
Kendaraan melintas usai mengisi mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) Non Subsidi pada kendaraan di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Ahad (25/2).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Minggu lalu, di awal bulan Maret 2018 Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas bereaksi sembari merilis  temuan lapangan yang diklaim sebagai fakta sejumlah alasan mengapa masyarakat kesulitan mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) Premium di SPBU. Temuannya menyebutkan bahwa ada indikasi  di daerah atas dua situasi yang diduga kuat menjadi penyebab ketersediaannya produk RON 88 tidak semudah dulu. 

Selain karena sejumlah daerah mengurangi cadangan (stock) BBM jenis ini, juga karena alasan beberapa SPBU lebih memilih menjual Pertalite ketimbang Premium.

Mengapa otoritas pengatur BBM hilir ini bereaksi cukup tegas atas situasi tersebut? Apakah kedua indikasi itu melanggar ‘aturan main’ atau bahkah bertentangan dengan konstitusi?

Apakah konstitusi menyebutkan bahwa negara wajib menyediakan Premium, sehingga ketika Premium tidak tersedia institusi pengatur berhak marah dan mengumbar instruksi di ruang publik  agar badan usaha yang mendapat penugasan segera bertindak untuk menyelesaikan tugasnya menyalurkan Premium.

Eksklusivitas perizinan SPBU baru

Oktober 2017 yang lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah meresmikan sebuah Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) milik swasta yang menjual tiga jenis bahan bakar, salah satunya adalah RON 89 yang saat ini dijual dengan harga Rp 6.550 per liter. Sementara itu, harga Premium RON 88 SPBU Pertamina di seluruh Indonesia adalah Rp 6.450.

SPBU swasta baru yang dikelola oleh perusahaan swasta asing yang bermitra dengan salah satu perusahaan dalam negeri yang sebelumnya bernama PT Nusantara Energy Plant Indonesia/NEPI ini pada awalnya menjual Premium jenis RON 89 dengan harga Rp 6.100 per liter, lalu kemudian menjadi Rp 6.350 .

Tidak diketahui dengan pertimbangan apa, perusahaan ini kemudian melakukan perubahan nama melalui SK Menkumham AHU- 0002674.AH.01.02 Tahun 2017, dan juga telah memperoleh izin prinsip dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk perubahan penanaman modal asing melalui keputusan nomor 3859/1/IP-PB/PMA/2017. 

Apa sebenarnya dasar hukum yang menjadi pijakan diberikannya izin operasi SPBU swasta baru tersebut? Padahal Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 jelas menunjuk bahwa untuk Premium RON 88,89 dan yang sejenisnya  pemerintah memberikan otoritas penugasan khusus untuk di luar wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) kepada BUMN yakni Pertamina. Sementara di wilayah Jamali, produk itu merupakan jenis BBM Umum yang tidak harus tersedia di SPBU, termasuk di SPBU Pertamina.

Substansi Perpres 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, yang juga mengatur penyediaan bahan bakar jenis RON 88 seharusnya dipandang sebagai upaya menjadikan Premium sebagai BBM transisi, agar publik lambat laun beralih ke BBM dengan kadar oktan yang lebih tinggi. Sehingga Pertamina hanya perlu ditugaskan di wilayah yang kemungkinan masih perlu beradaptasi dengan harga jual BBM yang mengikuti harga pasar minyak mentah dunia.

Penarikan peredaran Premium RON 88 dan yang setara dengannya idealnya oleh Pertamina harus menjadi komitmen, sebagaimana telah disepakati bersama Pemerintah cq. Kementerian ESDM untuk mengurangi polusi lingkungan dan udara bersih. Dan, komitmen ini juga ditegaskan kembali oleh rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang penarikannya dilakukan pada akhir Tahun 2017.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement