Sabtu 10 Mar 2018 12:50 WIB

Pakar: Penyebutan Nama MCA tidak Relevan

Pelaku tindak pidana itu orang dan korporasi.

Rep: Umar Muchtar/ Red: Budi Raharjo
Sejumlah tersangka diperlihatkan saat rilis Pelaku penyebaran isu provokatif dan ujaran kebencian yang terorganisir dengan nama The Family Muslim Cyber Army di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (28/2).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Sejumlah tersangka diperlihatkan saat rilis Pelaku penyebaran isu provokatif dan ujaran kebencian yang terorganisir dengan nama The Family Muslim Cyber Army di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (28/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan penyebutan Muslim Cyber Army (MCA) sebagai kelompok yang melakukan tindak pidana terkait hoaks sebetulnya tidak relevan. Sebab, pelaku tindak pidana adalah orang dan korporasi.

"Pelaku tindak pidana itu orang dan korporasi. Sanksi terhadap orang dihukum badan atau penjara, sedangkan korporasi sanksinya dihukum denda," kata dia kepada Republika.co.id, Sabtu (10/3).

Fickar menjelaskan, yang dimaksud korporasi itu adalah badan usaha baik yang berbadan hukum seperti PT, koperasi, dan yayasan. Atau, korporasi yang tidak berbadan hukum seperti CV, usaha perorangan seperti Usaha Dagang (UD) atau toko yang diberi merek. "Jadi orang dan korporasi itu subjek pidananya yang dapat dihukum. Karena itu, penyebutan nama kelompok masyarakat tidak relevan. Apalagi nama-nama yang mengaitkan agama," tutur dia.

Menurut Fickar, jika penyidik kepolisian terus melakukan itu dengan menyebut kelompok yang menggunakan nama agama, maka akan muncul tafsir bahwa polisi tendensius dan bersikap politis. "Bisa ditafsirkan tendensius dan bersikap politis," katanya.

Fickar juga menyampaikan aparat kepolisian harus bersikap bijak dalam menangani pelanggaran hukum yang dilakukan kelompok yang menamakan dirinya The Family MCA ini. Polri mesti bertindak secara profesional dan tidak mendramatisasi keadaan. "Bertindaklah profesional, jangan mendramatisir, dan kedepankan pendekatan hukum dengan hanya menyebut pelaku orang atau korporasi untuk menghindarkan prasangka negatif di masyarakat," ujarnya.

Fickarpun mengapresiasi perintah Wakapolri Komjen Pol Syafruddin kepada seluruh aparat kepolisian untuk tidak lagi menggunakan nama Muslim Cyber Army (MCA) dalam kasus tersebut. Namun, ia mengaku heran mengapa penyebutan MCA lebih dulu terjadi sehingga berpotensi menimbulkan kesan negatif terhadap agama.

"Ya itulah, mungkin (pelarangan penyebutan MCA) itu setelah mendapatka nkritik dan keberatan dari beberapa pihak, karena itu saya mengimbau dan menekankan agar polisi profesional saja dengan pendekatan hukum, jangan mendramatisasi," kata dia.

Sebelumnya, Syafruddin mengatakan Muslim sama sekali tidak mencerminkan hoaks. Sebab yang melakukan ujaran kebencian atau hoaks adalah orang yang tak bertanggung jawab dan tidak mencerminkan umat Muslim. Seorang Muslim tak akan melakukan hal yang tidak bertanggung jawab.

Karena itu pula, ia mengaku telah meminta jajaran Polri untuk tak lagi menyebut kata Muslim dalam mengemukakan kasus penyebaran hoaks MCA. "Saya perintahkan jajaran Polri jangan lagi menyebut Muslim Cyber Army," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement