Jumat 09 Mar 2018 10:05 WIB

‘Poros Ketiga Bisa Terwujud Lewat Demokrat, PAN, dan PKB’

Parpol yang membangun poros ketiga memahami dinamika pemilih yang berharap hal baru.

Pemilu (ilustrasi).
Pemilu (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat pemilihan umum (pemilu), Girindra Sandino, berpendapat wacana Partai Demokrat untuk membentuk poros ketiga pada Pemilu 2019 mungkin bisa terjadi. Syaratnya, Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berkomitmen untuk melakukan hal itu.

"Saya kira poros ketiga yang digawangi Partai Demokrat merupakan hal yang wajar dalam kontestasi demokrasi kita. Walau sebagian kalangan menilai koalisi di luar kubu Jokowi (Joko Widodo) dan Prabowo sulit terwujud. Namun demikian, politik itu dinamis," kata dia, di Jakarta, Jumat (9/3), dilansir dari Antara.

Menurut Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia ini, parpol-parpol yang ingin membangun poros ketiga pasti sudah membaca peta politik dan dinamika perilaku pemilih Indonesia. Pemilih selalu merasa euforia terhadap hal-hal baru yang mengedepankan harapan baru.

"Ini sebuah alternatif, pemusnah kejenuhan politik. PKB dan PAN sudah menuju ke arah situ. Saya kira sudah betul arah politik PKB dan PAN membangun poros ketiga alternatif politik untuk rakyat," ujarnya.

Namun, lanjut Girindra, yang menjadi kendala adalah siapa yang menjadi capres dan cawapresnya karena harus ada figur yang menjadi magnet politik. "Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) belum memenuhi kriteria sebagai capres, lebih baik sebagai cawapres," kata Girindra.

Sementara, capres bisa dari orang luar partai, bisa mantan panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan lainnya. "Proyeksi konfigurasi politik tersebut harus dicermati dan diantisipasi oleh kubu-kubu yang mengklaim kubunya paling kuat dalam pilpres 2019. Pembentukkan koalisi politik tandingan yang bukan sekadar pakta politik kosong adalah pilihan strategis yang dapat dipertimbangkan," ucapnya. 

Ambang batas mengajukan pasangan capres-cawapres atau presidential threshold termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu. Untuk bisa mendukung capres, partai politik minimal harus memiliki 20 persen kursi di DPR RI periode 2014-2019. Syarat lainnya, yaitu pasangan capres dan cawapres tersebut memiliki perolehan suara dalam Pemilu 2014 sebesar 25 persen.

Saat ini, lima partai sudah mendeklarasikan akan mengusung Joko Widodo untuk periode kedua pada pilpres 2019. Kendati belum mengumumkan akan berkoalisi, lima partai tersebut, yakni PDIP (dengan 19,46 persen kursi di DPR), Partai Golkar (16,25 persen), PPP (6,9 persen), Partai Nasdem (6,25 persen), dan Partai Hanura (2,85 persen). 

Gabungan lima partai tersebut memiliki 51,66 persen kursi di DPR. Rival yang mungkin menantang koalisi Jokowi, yakni Partai Gerindra (13 persen) dan PKS (7,1 persen), yang memiliki gabungan kursi sebesar 20,1 persen. 

Tiga partai lainnya, yakni Partai Demokrat, PAN, dan PKB, yang belum memutuskan arah koalisi memiliki gabungan kursi Demokrat-PAN-PKB: 27,94 persen. Perinciannya, Partai Demokrat 10,89 persen, PAN 8,75 persen, dan PKB 8,3 persen. 

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan, kondisi PAN dan PKB bergabung dengan Demokrat bisa menjadi rumit karena masing-masing ketua umum dari partai tersebut memiliki kepentingan yang berbeda. Jika Demokrat menjadi pemimpin koalisi karena memiliki jumlah kursi paling banyak maka penentuan wakilnya akan menjadi rumit.

"Misalnya, mau mengajukan calon presiden Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kemudian, siapa wakilnya? Apa Zulkifli Hasan (PAN) atau Muhaimin Iskandar (PKB)? Kalau Zulkifli jadi wapres, mau tidak Muhaimin gabung, atau sebaliknya? Nah, itu rumitnya," kata Qodari menerangkan.

sumber : Antara/Inas Widyanuratikah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement