REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Fenomena kotak kosong dalam sebuah pemilihan umum (pemilu) dianggap sebagai kegagalan proses berdemokrasi di suatu wilayah. "Kotak kosong atau yang lebih familiar disebut ‘bungbung kosong’ oleh orang atau masyarakat menjadi bukti sebuah kegagalan dalam proses berdemokrasi," kata Dewan Pakar DPW Partai Nasional Demokrat (NasDem) Banten Adi Abdillah di Jakarta, Jumat (9/3).
Fenomena tersebut, Adi Abdillah mengatakan, sering terjadi di beberapa daerah di Tanah Air bahkan termasuk di antaranya di wilayah Provinsi Banten. Tercatat sebanyak tiga dari empat wilayah di Banten yang melaksanakan Pilkada serentak 2018 melahirkan calon tunggal dan dipastikan akan melawan kotak kosong. Ketiga daerah itu, yakni Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kabupaten Lebak.
Adi menyayangkan tidak adanya atau lambatnya kaderisasi dalam proses berdemokrasi khususnya di wilayah Banten. "Di Lebak misalnya, wilayah ini dikembangkan sejak 1828, nyatanya tidak juga masyarakatnya semakin dewasa dalam berdemokrasi. Begitu banyak kader pemimpin lahir tapi nyatanya tidak muncul ketika ada pilkada seperti ini. Apakah karena memang tidak ada atau tidak berani muncul," katanya.
Menurut dia, fenomena kotak kosong dalam sebuah pilkada tidak sehat bagi pendewasaan berdemokrasi bagi masyarakat. "Lantas dimana logikanya jika calon tunggal, apa yang menjadi dasar pilihan bila tak ada komparasi. Ironis bagi Lebak yang hanya berjarak tak lebih 120 km dari ibu kota Jakarta namun untuk hal memilih pemimpin saja gagal," kata Adi.
Sejatinya menurut dia, banyak kader terlahir dari Banten. Namun saat ini, ia menilai, provinsi tersebut justru sedang mengalami krisis penciutan nyali bagi masyarakatnya untuk bisa memimpin daerahnya sendiri.