REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ada begitu banyak jejak sejarah yang tersebar di tanah Kota Malang. Tak hanya warisan kerajaaan Nusantara tapi juga sejumlah bangunan peninggalan masa kolonial juga masih berdiri tegak hingga sekarang.
Di antara sejumlah peninggalan, menara tugu yang berada di depan Balaikota Malang ternyata memiliki nilai historis cukup besar. Tak heran apabila tugu tersebut selalu menjadi lokasi wajib dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Apalagi menara tugu di lokasi tersebut kini ditata sehingga tampil cantik di tengah-tengah kota.
Dosen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM), Ronal Ridho'i menjelaskan, menara tugu sebenarnya belum berdiri di masa kolonial Belanda maupun Jepang. Tugu kebanggaan warga Malang ini baru berdiri sekitar 17 Agustus 1946 oleh warga setempat. "Itu menandai setahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia di 17 Agustus 1945," ujar Ronal saat ditemui Republika, Kamis (8/3).
Tak hanya menandai kemerdekaan, pembangunan tugu juga menjadi simbol meneruskan warisan peninggalan bangunan Belanda di wilayah tersebut. Seperti diketahui, kata Ronal, Belanda mulai 1917 memiliki delapan proyek pembangunan bouwplan di Kota Malang. Pada bouwplan kedua sekitar 1919, Belanda membangun alun-alun tapi belum ada tugunya kala itu.
"Dulu bentuknya baru tanah lapang, taman biasa. Balai kota sendiri baru ada sekitar 1927," kata dia.
Di masa agresi militer, Ronal menyebutkan, tugu sempat dihancurkan oleh para tentara republik. Penghancuran ini bersamaan dengan bangunan lainnya termasuk balai kota. Hal ini lebih tepatnya membumihanguskan bangunan yang di dalamnya terpajang bendera dan logo Belanda.
Setelah kolonial Belanda benar-benar pergi dari Kota Malang, masyarakat kembali membangun tugu yang sempat dihancurkan. Bahkan, tugu tersebut sempat diresmikan oleh Presiden Soekarno sekitar 1950. Tugu dibangun kembali sebagai penanda adanya peristiwa penting yang pernah terjadi di Kota Malang seperti agresi militer.
Mengenai diresmikannya tugu oleh Bung Karno, Ronal menilai, ini tak terlepas dari kegiatan presiden pertama di kota tersebut. Saat itu, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengadakan rapat sidang di salah satu lokasi Kota Malang. Oleh sebab itu, wajar peresmian tugu pun bisa dilakukan oleh Presiden Soekarno.
Adapun perbedaan tugu pada 1946 dan 1950, Ronal berpendapat, masih berstruktur sama. Bahkan, maknanya pun tak jauh berbeda, yakni sebagai momen peringatan peristiwa penting. "1946 momen peringatan proklamasi kemerdekaan sedangkan 1950 peringatan momen setelah agresi militer. Indonesia saat itu bisa dikatakan benar-benar merdeka," jelas dia.
Ronal juga mengungkapkan, sejumlah pendapat yang berspekulasi adanya emas di tugu Malang. Dia menilai, tugu tak mungkin memajang emas di ujungnya mengingat kondisi perekonomian Indonesia saat itu. Menurut dia, Indonesia pada masa pasca kemerdekaan mengalami berbagai krisis, baik politik maupun ekonomi.
Jika melihat beberapa dokumen sejarah, Ronal menjelaskan, Indonesia sekitar 1940 sampai 1949 berada di zaman perang. Bahkan, ada bukti sejarah yang menyatakan kondisi tentara republik yang kelaparan dan kemiskinan. Tak hanya di Kota Malang, situasi ini juga terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.
"Lalu kok bisa ada pendapat kalau tugu sempat ada emas? Kan di masa itu Indonesia berada di masa yang sangat krisis. Bangunan saat itu bentuknya kontinuitas dari peninggalan Belanda," tambahnya.
Saat ini, kata dia, tugu terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Lokasi yang dulunya hanya tanah lapang kini sudah begitu cantik dengan berbagai hiasan di dalamnya. Wisatawan manapun dapat secara gratis memasuki kawasan di tengah Jalan Tugu tersebut.
Nilai historis di lokasi tersebut sebenarnya tidaknya hanya terjadi pada tugu Kota Malang. Balaikota yang berdiri sejak 1927 memikiki unsur sejarah kuat di dalamnya. Sekolah-sekolah di sekitar tugu pun mengalami hal serupa dan tetap berdiri hingga saat ini. Terlebih lagi, tak jauh dari tugu terdapat Stasiun Kota Baru yang sudah ada sejak zaman Belanda.