REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa dokter RS Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo bersama-sama advokat Fredrich Yunadi dengan sengaja merintangi penyidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek KTP-elektronik (KTP-el) atas tersangka Setya Novanto. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Kamis (8/3), menggelar sidang dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU KPK dengan terdakwa Bimanesh Sutarjo.
"Pada 16 November 2017, terdakwa yang berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit dalam di RS Medika Permata Hijau dihubungi Fredrich Yunadi yang sudah lama dikenalnya meminta bantuan agar Setya Novanto dapat dirawat inap di RS Medika Permata Hijau dengan diagnosis menderita beberapa penyakit salah satunya hipertensi," kata Jaksa Kresno Anto Wibowo saat membacakan dakwaan tersebut.
Bimanesh kemudian menyanggupi untuk memenuhi permintaan Fredrich. Meskipun, yang bersangkutan mengetahui bahwa Novanto memiliki masalah hukum dalam kasus korupsi proyek KTP-el.
"Selanjutnya, terdakwa menghubungi dokter Alia yang saat itu menjabat sebagap Plt Manajer Pelayanan Medik RS Medika Permata Hijau melalui telepon agar disiapkan ruang VIP untuk rawat inap pasiennya, yakni Setya Novanto yang direncanakan akan masuk rumah sakit dengan diagnosa hipertensi berat," kata Kresno.
Bimanesh juga menyampaikan bahwa dirinya sudah menghubungi dokter spesialis jantung, Mohammad Thoyibi dan dokter spesialis bedah, Joko Sanyoto untuk melakukan perawatan bersama. Padahal, diketahui terdakwa belum pernah memberitahukan kepada kedua dokter itu untuk merawat Novanto.
Selain itu, terdakwa berpesan agar dokter Alia jangan memberitahukan hal ini kepada dokter Hafil Budianto Abdulgani, direktur RS Medika Permata Hijau tentang rencana memasukan Setya Novanto untuk dirawat inap.
"Terdakwa kemudian memberikan telepon selulernya kepada Fredrich Yunadi untuk berbicara langsung kepada dokter Alia yang pada intinya Ferdrich Yunadi meminta agar disiapkan ruang VIP dan memesan tambahan ruangan serta perawat yang berpengalaman untuk merawat Novanto," ucap Kresno.
Pada sekitar pukul 17.00 WIB, Fredrich memerintahkan stafnya dari kantor advokat bernama Achmad Rudiansyah manghubungi dokter Alia untuk melakukan pengecekan kamar VIP di RS Medika Permata Hijau yang sudah dipesan sebelumnya untuk Novanto.
"Sekitar pukul 17.30 WIB terdakwa juga datang ke RS Medika Permata Hijau menemui dr Michael di ruang IGD meminta dibuatkan surat pangantar rawat inap atas nama Setya Novanto dengan diagnosa kecelakaan mobil, padahal saat itu Novanto sedang berada di Gedung DPR RI barsama Reza Pahlevi dan Muhammad Hikman Mattauch (wartawan Metro TV). Atas permintaan tarsebut dr Michael menolak," jelas jaksa.
Dokter Michael menolak karena untuk mangeluarkan surat pengantar rawat inap dari IGD harus dilakukan pameriksaan dahulu terhadap pasien. Selain itu, Fredrich juga menemui dokter Alia untuk melakukan pengecekan kamar VIP 323 sekaligus meminta kepada dokter Alia agar alasan masuk rawat inap Novanto yang semula adalah penyakit hipertensi diubah dangan diagnosa kecelakaan.
"Sekitar pukuI 18.30 WIB, terdakwa datang ke RS Medika Permata Hijau menemui dokter Michael, menanyakan keberadaan Setya Novanto di ruang IGD yang dijawab bahwa Setya Novanto belum datang dan hanya Fredrich selaku pangacara Setya Novanto yang datang meminta surat pangantar rawat Inap dari IGD dengan keterangan kecelakaan mobil namun ditolak dokter Michael karena dia belum memeriksa Setya Novanto," ucap Jaksa.
Terdakwa kemudian membuat surat pengantar rawat inap manggunakan form surat pasien baru IGD, padahal dia bukan dokter jaga IGD.
"Pada surat pengantar rawat inap itu, terdakwa menuliskan diagnosis hipertensi, vertigo dan diabetes melitus sekaligus membuat catatan harian dokter yang merupakan catatan hasil pemeriksaan awal terhadap pasien padahal terdakwa belum memeriksa Novanto dan tidak pernah mendapatkan konfirmasi dari dokter yang menangani Setya Novanto sebelumnya di RS Premier Jatinegara," kata Jaksa.
Sekitar pukul 18.45 WIB, Novanto tiba di RS Medika Permata Hijau dan langsung dibawa ke kamar VIP 323 sesuai dengan Surat Pengantar Rawat Inap yang dibuat terdakwa.
Setelah Setya Novanto dirawat inap, Fredrich memberikan keterangan di RS Medika Permata Hijau kepada wartawan seolah-olah tidak mengetahui kecelakaan mobil yang dialami Setya Novanto dan baru mendapat informasi Setya Novanto dirawat inap di RS Medika Permata Hijau dari Reza Pahlevi. Padahal sebelumnya Fredrich lebih dahulu datang ke RS Medika Permata Hijau untuk mengupayakan Setya Novanto dirawat inap karena kecelakaan.
"Fredrich juga memberikan keterangan kepada pers bahwa Setya Novanto mengalami luka parah dengan beberapa bagian tubuh, berdarah-darah serta terdapat benjolan pada dahi sebesar bakpao, padahal Setya Novanto hanya mengalami beberapa luka ringan pada bagian dahi, pelipis kiri dan leher sebelah kiri serta lengan kiri," ungkap jaksa Takdir.
Sekitar pukul 21.00 WIB, penyidik KPK datang ke RS Medika Permata Hijau mengecek kondisi Novanto, yang ternyata tidak mengalami luka serius. Namun, Fredrich menyampaikan bahwa Setya Novanto sedang dalam perawatan intensif dari terdakwa sehingga tidak dapat dimintai keterangan, sedangkan terdakwa malam itu juga mematikan telepon selulernya sehingga tidak dapat dikonfirmasi oleh penyidik KPK.
Kemudian, pada 17 November 2017, penyidik KPK hendak melakukan penahanan Setya Novanto setelah sebelumnya berkoordinasi dengan tim dokter di RS Medika Permata Hijau yang secara bergantian memeriksa kondisi Setya Novanto.
"Namun Fredrich menolak penahanan tersebut dengan alasan tidak sah karena kliennya sedang dalam kondisi dirawat inap, padahal setelah Setya Novanto dirujuk dari RS Medika Permata Hijau ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan diperiksa oleh tim dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), disimpulkan bahwa dia dalam kondisi layak untuk menjalani pemeriksaan penyidikan oleh penyidik KPK dan tidak perlu rawat inap," ujar jaksa Takdir.
Selanjutnya Novanto pun dapat dibawa dari rumah sakit ke kantor KPK untuk dimintai keterangan sebagai tersangka dan ditahan di rutan KPK. Terhadap perbuatan tersebut, Bimanesh didakwa dengan Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 KUHP, dengan ancaman penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.